Di sudut ruangan itu, dengan sebatang Marlboro terakhir di sisa hari ini, dia coba membunuh tangisnya sekali lagi dengan kepulan asap rokok. Kepulan-kepulan asap yang membuat ingatannya mengembara. Kenangan masa kanak yang saling bertubrukan, berhamburan keluar dari memori otaknya. Juga saat-saat terakhir bersama sosok ayah yang tak pernah sempat bisa membahagiakannya.
”Ayah aku rindu,” keluhnya, tertahan pun hanya dalam hati.
Lamat didengarnya suara nyanyian Rayuan Pulau Kelapa dari tape di dalam ruangan kerja staff administrasi. Dia ingat lagu itu adalah ciptaan Ismail Marzuki. Pencipta lagu yang namanya diabadikan pada taman ini.
Di sini, di antara dinding yang putih membisu, dia ikut bernyanyi. Di antara rintihan irama luka atau nyanyian suka yang kadang terasa sangat dipaksakan. Suaranya mengiringi gesekan pelnya yang seakan menyayat kelu lantai yang sudah muak karena terinjak-injak bertahun-tahun lamanya.
Marmer wastafel yang angkuh itu, yang selalu menuntutnya untuk mengeringkannya. Cermin gagu nan sombong yang selalu merayunya untuk mencemerlangkannya, karena seribu kepalsuan dan kepongahan selalu dan selalu saja memburamkannya. Bau Clorox dari sudut celah-celah dudukan WC yang baru disikatnya itu membawanya semakin larut ke dalam pintu rindu akan sosok seorang ayah yang tiada.
”Seandainya saja aku tidak dikalahkan kepapaan. Seandainya saja hidup itu sangatlah mudah seperti mereka. Seandainya saja… Ya, seandainya saja,” gumamnya lesu.
”Ayah, aku ingin memeluk bahumu sekali lagi dan akan kutumpahkan seluruh cerita hari ini. Betapa lelahnya aku menghadapi hidup,” keluhnya lagi. Dengan enggan dia bangkit dan berjalan gontai. Pulang ke rumahnya. Saat itu jam menunjukkan pukul 21.00 WIB bersamaan dengan berakhirnya lagu Rayuan Pulau Kelapa.
Kamar temaram. Dia masih merasa canggung menatap wajah dirinya sendiri dalam sosok yang berbeda. Seperti sedang bercermin tetapi bayangan di depannya bergerak melewati bingkai cermin dan mencipta menjadi sosok serupa dirinya sendiri.
“Apa yang salah dengan hidupku? Kenapa aku tidak pernah merasa hidup?” tanyanya kemudian. Sosok itu tersenyum.
“Coba mendekatlah kemari. Dan lihatlah wajahku.”
Dia mendekat. Mengamati wajah dari sosok yang ada di depannya dalam cahaya kamar yang temaram. Dia melihat wajahnya sendiri, hanya saja dia merasa ada sesuatu yang ganjil disana.
“Luka itu?” bisiknya pelan.
“Iya, luka itu tak ada lagi di wajahmu. Dulu luka itu adalah kesalahanmu yang tak pernah kau mengerti,“ kata sosok itu kemudian.
Dia memegang bekas luka di pelipis kirinya. Hampir menyatu dengan kulit dahi. Padahal dulu begitu menganga. Sebuah luka yang tak akan pernah dia lupakan. Luka yang terjadi di saat dia masih berusia 19 tahun. Tepat ketika dia mulai tergila-gila dengan buku-buku Filsafat dan Novel Sastra yang dibacanya di gerai buku di TIM. Freud, Nietzsche, Kant, Voltaire, Plato, dan Tolstoy adalah filsuf idola sekaligus pahlawan baru bagi dunianya. Saat itu semua yang ada menjadi abstrak, termasuk dunia dan apa yang dia rasakan.
Dia dibesarkan sebagai anak tunggal, dalam kondisi keluarga yang membuatnya marah sekaligus menangis. Kemiskinan yang sangat. Hingga untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari ibunya harus berjualan keliling termasuk mangkal di depan TIM. Namun ibunya selalu mengajarkan padanya tentang kebahagiaan sebuah keluarga.
Ibunya adalah sosok seorang wanita pendiam, selalu menutupi kepedihan dalam senyuman agar terlihat bahagia di depan anaknya. Tetapi pada saat yang sama dia sering mendapati ibunya duduk sendiri di halaman belakang dalam gelap malam dan sembab air mata. Dia pikir karena ibunya lelah saja, setelah berjualan seharian dan setiap hari.
Sedangkan sang ayah??!! Tak banyak yang dia ingat tentangnya. Yang dia tahu, Ayah adalah sosok yang tak pernah dia mengerti kehadirannya. Hingga sang Ayah pulalah yang membuatnya terpuruk. Membuat kandas mimpi-mimpinya dulu dan sekarang berakhir sebagai cleaning service di TIM. Dia menggeram. Marah. Dia ingat malam itu lagi….
Sebuah malam ketika sang Ayah pulang larut malam dengan mata merah darah penuh kemarahan. Dan malam itu tanpa alasan yang jelas, sang Ayah memukul dia hingga tersungkur di sudut ruangan. Cincin besi itu merobek pelipis matanya hingga darah mengucur di lantai ruangan hingga dia pingsan. Sejak saat itu, sosok sang Ayah adalah sosok yang sangat menakutkan baginya. Hampir setiap hari sang Ayah selalu mempunyai alasan untuk memukulinya dengan tangan atau mencambuknya dengan sabuk kulitnya. Atau mengurungnya dalam kamar mandi sepanjang malam tanpa cahaya.
Sang Ibu hanya bisa diam dalam tangis, dan baru menghampirinya ketika dia sudah mulai tersungkur di lantai nyaris pingsan. Dalam sisa kesadarannya, dia hanya bisa melihat ibunya berkata sesuatu, tapi dia tak bisa lagi mendengarnya. Saat seperti itu, semua menjadi sunyi. Pendar cahaya hanya bergerak-gerak tanpa suara. Dunia menjadi bisu…..
Luka di pelipisnya mendadak berdenyut. Sakit sekali. Emosi dan kemarahannya pada masa silam, kembali memompa aliran darah berlebih ke otak, sehingga menghasilkan impuls luar biasa sakit pada jaring-jaring syarafnya. Dia terkulai di lantai.
“Tapi ini semua karena kesalahan ayahku!!! Dia yang selalu menghajarku hingga aku pingsan! Dia yang tak pernah mau mengerti anaknya sendiri! Dia yang merobek pelipisku, juga semua bekas cambukan sabuk kulitnya di tubuhku!! Semua karena ayahku hingga akhirnya aku memutuskan untuk lari pada minuman keras!! Kenapa aku yang disalahkan??!!”
Sosok itu menatapnya dalam-dalam.
“Luka itu bukan dibuat oleh ayahmu,” kata sosok itu pelan.
“M….m….maksudmu?”
“Iya. Bukan ayahmu yang membuat luka di wajahmu dan semua bekas cambukan di tubuhmu.”
“Lalu siapa yang membuat semua luka ini?” Sosok itu mendekat.
“Dirimu sendiri,” jawab sosok itu pelan.
Dia merasa limbung dengan jawaban sosok yang ada di depannya. Bagaimana mungkin?
“TIDAK!!! TIDAK MUNGKIIINN!!! Ayahkulah yang setiap hari pulang larut malam dengan mata merah dan menyeretku turun dari tempat tidur. Dia yang memukuliku dan menghajarku hingga aku nyaris pingsan!! Ayahku yang mengurungku sepanjang malam di dalam dingin kamar mandi gelap tanpa cahaya. Ayahku yang melakukan itu semua!! Ayahku yang……..aarrgghh!!”
“HENTIKAN!!!” Sosok itu memegang lengannya.
“SADARLAH!! AYAHMU TAK PERNAH ADA DI DALAM KELUARGAMU! AYAHMU TAK PERNAH SEKALIPUN BERTEMU DENGANMU! DI RUMAH ITU HANYA ADA KAU DAN IBUMU!DAN TIDAK PERNAH ADA SOSOK SEORANG AYAH PUN DI SANA!TIDAK PERNAH ADA!!”
Dia terkulai lemas mendengar jawaban itu. Seandainya jawaban itu bukan dari sosok dirinya sendiri, mungkin dia tidak akan percaya. Semua kata tercekat di tenggorokan, pandangannya nanar, dia jatuh terduduk.
Sosok itu mendekat dan duduk di sampingnya. Sejenak hening menciptakan jarak di antara mereka.
“Ayahmu telah meninggalkan ibumu saat kau masih dalam kandungan. Sejak kecil, hanya ibumu yang mengasuhmu sendiri dengan keringat dan darahnya. Tetapi keinginanmu tentang kehadiran figur ayah, menciptakan sebuah sosok seorang ayah dalam duniamu sendiri. Sosok ayah tempatmu bermanja dan menghabiskan waktu bermain di taman atau memancing di sungai seharian. Sejak kecil kau selalu mengajaknya bicara dan memintanya membacakan cerita sebelum tidur. Padahal di sana tidak ada siapa-siapa.”
”Ibu tahu itu semua, tetapi dia hanya bisa diam dan menangis melihat itu terjadi. Dia tidak ingin menyadarkanmu dan mengambil semua mimpi dan kebahagiaan yang kau rasakan bersama sosok seorang ayah di dalam duniamu. Dia tahu, dia tak bisa memenuhi figur orang tua sepenuhnya bagi dirimu,” sosok itu bercerita perlahan.
Matanya terasa panas, dan perlahan airmatanya meleleh. Dia teringat kembali wajah ibunya yang sembab karena air mata ketika tanpa sengaja dia memergokinya di halaman belakang. Jadi semua air mata itu karena dirinya?
“Sampai akhirnya ketika kau mulai dewasa, dan mulai banyak membaca dan berpikir, sosok ayah yang kau ciptakan itu ternyata tidak juga hilang karena tanpa kau sadari, kau telah merasa nyaman dengan dunia yang kau ciptakan sendiri. Sampai akhirnya sosok ayah itu menjelma menjadi alter ego-mu sendiri. Menjadi wujud dari kemarahan yang ada dalam dirimu. Sosok ayah yang telah memukul pelipismu, menghajarmu dan menguncimu dalam kamar mandi, adalah dirimu sendiri.” Sosok itu menghela nafas. Dia tahu ini akan menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk diterima.
“Luka di wajahmu itu adalah awal dari fase kemunculan alter ego-mu. Malam itu, tanpa sadar kaulah yang telah mengiris pelipismu sendiri dan membenturkan kepalamu hingga berdarah dan nyaris mati. Dirimu dalam ’sosok ayah’ mu yang kau ciptakan sendiri. Sejak saat itu hampir setiap malam kau melakukan hal yang sama. Ego-mu dalam sosok ayahmu yang memukulimu, mencambuk tubuhmu dengan sabuk kulitnya, dan mengurung dirimu sendiri dalam kamar mandi.”
”Ibumu tak bisa mencegah semua itu terjadi. Dia merasa semua ini adalah kesalahannya karena membiarkan sosok ayah itu tetap hidup dalam duniamu. Dia hanya bisa menangis, melihatmu menyiksa diri. Dia mengangkatmu ke tempat tidur ketika kau hampir pingsan. Membersihkan setiap darah di lantai kamar seakan tak terjadi apa-apa. Dia tak ingin membiarkanmu dirawat di rumah sakit jiwa karena dianggap schizophrenic oleh dokter.”
”Sampai akhirnya kau memutuskan lari pada minuman memabukan dengan alasan tidak tahan perlakuan ayahmu. Padahal kau bukan sedang berlari dari ayahmu, tetapi kau berlari dari dirimu sendiri. Dari alter ego-mu. Dan meninggalkan ibumu dan Tuhanmu!”
Waktu seakan berhenti untuk memberi ruang pada sketsa hidupnya yang satu persatu muncul kembali pada layar pikirannya. Perlahan sosok itu pun memudar dan berangsur hilang dalam gelap.
Dia jatuh tersungkur. Badannya lemas. Dia merasakan pusing yang teramat sangat. Ruangan gelap itu seakan berputar kencang mengelilinginya. Pikirannya kacau. Dia mulai menggumam, mulai meracau. Tak ada lagi batas nyata dan abstrak dalam dunianya. Semua berputar menjadi satu. Begitu cepat memutar……
Dan di tengah pusaran yang berputar, dia melihat sebuah wajah yang begitu damai. Penuh senyuman. Wajah yang tak asing lagi. Dia berteriak, sebelum akhirnya semua menjadi gelap kembali.
BRAKK!!!
Sebuah bunyi keras, membawa kesadarannya kembali. Bunyi pertama yang dia dengar setelah sekian lama dia tak sadarkan diri. Di susul cahaya terang yang perlahan merasuk ke dalam kamarnya. Dia tak bisa bergerak hanya bisa tergeletak, lemah.
Sayup terdengar suara langkah mendekat. Dia tak bisa melihat dengan jelas, kepalanya masih terasa pusing. Sebuah gerakan perlahan nampak samar di depannya. Pendar cahaya sedikit demi sedikit membentuk sebuah garis wajah yang sempurna. Wajah itu, wajah malaikat terindah yang pernah ada. Wajah Ibunya!!
Dirasakannya usapan lembut di rambutnya. Ibu begitu mengasihinya. Dia tersadar dari mimpi buruknya semalam. Ternyata bayang masa lalu masih menaunginya. Tapi tak urung dia mengucapkan ”Alhamdulillah”. Allah masih menyelamatkan nyawanya hingga hari ini dan memberinya kesempatan memperbaiki diri di jalan-Nya.
Kupu-kupu beterbangan di atas sekuntum bunga yang baru mekar. Diam tak bergerak, diamatinya kupu-kupu itu. Mengagumi keindahan warna kupu-kupu, kuning kehitaman. Keindahan bunga berwarna merah muda keunguan. Juga keindahan cerahnya matahari menyilaukan mata. Keindahan suasana hatinya pagi ini.
Ya, hatinya. Dia mencoba membuat suasana hatinya lebih indah pagi ini. Meski jauh di dalam sana, ada yang tetap mengiris, pedih. Sakit. Teramat sakit. Tapi apapun itu, dan bagaimana pun ia kini, Ayah tetap figur idola baginya. Meskipun mungkin sampai mati, dia tak akan pernah tahu, siapa dan bagaimana sosok ayahnya.
Lagu itu kembali terdengar, seperti biasa. Dan seperti biasanya dia pun melakukan aktivitasnya. Membersihkan pekarangan taman ini. Dan bila sore menjelang malam, dia beralih ke belakang. Membersihkan toilet. Begitulah hidupnya sekarang. Kehidupan yang telah dijalaninya hampir lima tahun ini.
”Ayah aku rindu,” keluhnya, tertahan pun hanya dalam hati.
Tanah airku IndonesiaNegeri elok amat ku cintaTanah tumpah darahku yang mulyaYang kupuja s’panjang masa
Lamat didengarnya suara nyanyian Rayuan Pulau Kelapa dari tape di dalam ruangan kerja staff administrasi. Dia ingat lagu itu adalah ciptaan Ismail Marzuki. Pencipta lagu yang namanya diabadikan pada taman ini.
Di sini, di antara dinding yang putih membisu, dia ikut bernyanyi. Di antara rintihan irama luka atau nyanyian suka yang kadang terasa sangat dipaksakan. Suaranya mengiringi gesekan pelnya yang seakan menyayat kelu lantai yang sudah muak karena terinjak-injak bertahun-tahun lamanya.
Tanah airku aman dan makmurPulau kelapa yang amat suburPulau melati pujaan bangsa sejak dulu kala
Marmer wastafel yang angkuh itu, yang selalu menuntutnya untuk mengeringkannya. Cermin gagu nan sombong yang selalu merayunya untuk mencemerlangkannya, karena seribu kepalsuan dan kepongahan selalu dan selalu saja memburamkannya. Bau Clorox dari sudut celah-celah dudukan WC yang baru disikatnya itu membawanya semakin larut ke dalam pintu rindu akan sosok seorang ayah yang tiada.
”Seandainya saja aku tidak dikalahkan kepapaan. Seandainya saja hidup itu sangatlah mudah seperti mereka. Seandainya saja… Ya, seandainya saja,” gumamnya lesu.
Melambai-lambai, nyiur di pantaiBerbisik-bisik, Raja K’lana
”Ayah, aku ingin memeluk bahumu sekali lagi dan akan kutumpahkan seluruh cerita hari ini. Betapa lelahnya aku menghadapi hidup,” keluhnya lagi. Dengan enggan dia bangkit dan berjalan gontai. Pulang ke rumahnya. Saat itu jam menunjukkan pukul 21.00 WIB bersamaan dengan berakhirnya lagu Rayuan Pulau Kelapa.
Memuja pulau, yang indah permaiTanah airku……Indonesia.
Kamar temaram. Dia masih merasa canggung menatap wajah dirinya sendiri dalam sosok yang berbeda. Seperti sedang bercermin tetapi bayangan di depannya bergerak melewati bingkai cermin dan mencipta menjadi sosok serupa dirinya sendiri.
“Apa yang salah dengan hidupku? Kenapa aku tidak pernah merasa hidup?” tanyanya kemudian. Sosok itu tersenyum.
“Coba mendekatlah kemari. Dan lihatlah wajahku.”
Dia mendekat. Mengamati wajah dari sosok yang ada di depannya dalam cahaya kamar yang temaram. Dia melihat wajahnya sendiri, hanya saja dia merasa ada sesuatu yang ganjil disana.
“Luka itu?” bisiknya pelan.
“Iya, luka itu tak ada lagi di wajahmu. Dulu luka itu adalah kesalahanmu yang tak pernah kau mengerti,“ kata sosok itu kemudian.
Dia memegang bekas luka di pelipis kirinya. Hampir menyatu dengan kulit dahi. Padahal dulu begitu menganga. Sebuah luka yang tak akan pernah dia lupakan. Luka yang terjadi di saat dia masih berusia 19 tahun. Tepat ketika dia mulai tergila-gila dengan buku-buku Filsafat dan Novel Sastra yang dibacanya di gerai buku di TIM. Freud, Nietzsche, Kant, Voltaire, Plato, dan Tolstoy adalah filsuf idola sekaligus pahlawan baru bagi dunianya. Saat itu semua yang ada menjadi abstrak, termasuk dunia dan apa yang dia rasakan.
Dia dibesarkan sebagai anak tunggal, dalam kondisi keluarga yang membuatnya marah sekaligus menangis. Kemiskinan yang sangat. Hingga untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari ibunya harus berjualan keliling termasuk mangkal di depan TIM. Namun ibunya selalu mengajarkan padanya tentang kebahagiaan sebuah keluarga.
Ibunya adalah sosok seorang wanita pendiam, selalu menutupi kepedihan dalam senyuman agar terlihat bahagia di depan anaknya. Tetapi pada saat yang sama dia sering mendapati ibunya duduk sendiri di halaman belakang dalam gelap malam dan sembab air mata. Dia pikir karena ibunya lelah saja, setelah berjualan seharian dan setiap hari.
Sedangkan sang ayah??!! Tak banyak yang dia ingat tentangnya. Yang dia tahu, Ayah adalah sosok yang tak pernah dia mengerti kehadirannya. Hingga sang Ayah pulalah yang membuatnya terpuruk. Membuat kandas mimpi-mimpinya dulu dan sekarang berakhir sebagai cleaning service di TIM. Dia menggeram. Marah. Dia ingat malam itu lagi….
Sebuah malam ketika sang Ayah pulang larut malam dengan mata merah darah penuh kemarahan. Dan malam itu tanpa alasan yang jelas, sang Ayah memukul dia hingga tersungkur di sudut ruangan. Cincin besi itu merobek pelipis matanya hingga darah mengucur di lantai ruangan hingga dia pingsan. Sejak saat itu, sosok sang Ayah adalah sosok yang sangat menakutkan baginya. Hampir setiap hari sang Ayah selalu mempunyai alasan untuk memukulinya dengan tangan atau mencambuknya dengan sabuk kulitnya. Atau mengurungnya dalam kamar mandi sepanjang malam tanpa cahaya.
Sang Ibu hanya bisa diam dalam tangis, dan baru menghampirinya ketika dia sudah mulai tersungkur di lantai nyaris pingsan. Dalam sisa kesadarannya, dia hanya bisa melihat ibunya berkata sesuatu, tapi dia tak bisa lagi mendengarnya. Saat seperti itu, semua menjadi sunyi. Pendar cahaya hanya bergerak-gerak tanpa suara. Dunia menjadi bisu…..
Luka di pelipisnya mendadak berdenyut. Sakit sekali. Emosi dan kemarahannya pada masa silam, kembali memompa aliran darah berlebih ke otak, sehingga menghasilkan impuls luar biasa sakit pada jaring-jaring syarafnya. Dia terkulai di lantai.
“Tapi ini semua karena kesalahan ayahku!!! Dia yang selalu menghajarku hingga aku pingsan! Dia yang tak pernah mau mengerti anaknya sendiri! Dia yang merobek pelipisku, juga semua bekas cambukan sabuk kulitnya di tubuhku!! Semua karena ayahku hingga akhirnya aku memutuskan untuk lari pada minuman keras!! Kenapa aku yang disalahkan??!!”
Sosok itu menatapnya dalam-dalam.
“Luka itu bukan dibuat oleh ayahmu,” kata sosok itu pelan.
“M….m….maksudmu?”
“Iya. Bukan ayahmu yang membuat luka di wajahmu dan semua bekas cambukan di tubuhmu.”
“Lalu siapa yang membuat semua luka ini?” Sosok itu mendekat.
“Dirimu sendiri,” jawab sosok itu pelan.
Dia merasa limbung dengan jawaban sosok yang ada di depannya. Bagaimana mungkin?
“TIDAK!!! TIDAK MUNGKIIINN!!! Ayahkulah yang setiap hari pulang larut malam dengan mata merah dan menyeretku turun dari tempat tidur. Dia yang memukuliku dan menghajarku hingga aku nyaris pingsan!! Ayahku yang mengurungku sepanjang malam di dalam dingin kamar mandi gelap tanpa cahaya. Ayahku yang melakukan itu semua!! Ayahku yang……..aarrgghh!!”
“HENTIKAN!!!” Sosok itu memegang lengannya.
“SADARLAH!! AYAHMU TAK PERNAH ADA DI DALAM KELUARGAMU! AYAHMU TAK PERNAH SEKALIPUN BERTEMU DENGANMU! DI RUMAH ITU HANYA ADA KAU DAN IBUMU!DAN TIDAK PERNAH ADA SOSOK SEORANG AYAH PUN DI SANA!TIDAK PERNAH ADA!!”
Dia terkulai lemas mendengar jawaban itu. Seandainya jawaban itu bukan dari sosok dirinya sendiri, mungkin dia tidak akan percaya. Semua kata tercekat di tenggorokan, pandangannya nanar, dia jatuh terduduk.
Sosok itu mendekat dan duduk di sampingnya. Sejenak hening menciptakan jarak di antara mereka.
“Ayahmu telah meninggalkan ibumu saat kau masih dalam kandungan. Sejak kecil, hanya ibumu yang mengasuhmu sendiri dengan keringat dan darahnya. Tetapi keinginanmu tentang kehadiran figur ayah, menciptakan sebuah sosok seorang ayah dalam duniamu sendiri. Sosok ayah tempatmu bermanja dan menghabiskan waktu bermain di taman atau memancing di sungai seharian. Sejak kecil kau selalu mengajaknya bicara dan memintanya membacakan cerita sebelum tidur. Padahal di sana tidak ada siapa-siapa.”
”Ibu tahu itu semua, tetapi dia hanya bisa diam dan menangis melihat itu terjadi. Dia tidak ingin menyadarkanmu dan mengambil semua mimpi dan kebahagiaan yang kau rasakan bersama sosok seorang ayah di dalam duniamu. Dia tahu, dia tak bisa memenuhi figur orang tua sepenuhnya bagi dirimu,” sosok itu bercerita perlahan.
Matanya terasa panas, dan perlahan airmatanya meleleh. Dia teringat kembali wajah ibunya yang sembab karena air mata ketika tanpa sengaja dia memergokinya di halaman belakang. Jadi semua air mata itu karena dirinya?
“Sampai akhirnya ketika kau mulai dewasa, dan mulai banyak membaca dan berpikir, sosok ayah yang kau ciptakan itu ternyata tidak juga hilang karena tanpa kau sadari, kau telah merasa nyaman dengan dunia yang kau ciptakan sendiri. Sampai akhirnya sosok ayah itu menjelma menjadi alter ego-mu sendiri. Menjadi wujud dari kemarahan yang ada dalam dirimu. Sosok ayah yang telah memukul pelipismu, menghajarmu dan menguncimu dalam kamar mandi, adalah dirimu sendiri.” Sosok itu menghela nafas. Dia tahu ini akan menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk diterima.
“Luka di wajahmu itu adalah awal dari fase kemunculan alter ego-mu. Malam itu, tanpa sadar kaulah yang telah mengiris pelipismu sendiri dan membenturkan kepalamu hingga berdarah dan nyaris mati. Dirimu dalam ’sosok ayah’ mu yang kau ciptakan sendiri. Sejak saat itu hampir setiap malam kau melakukan hal yang sama. Ego-mu dalam sosok ayahmu yang memukulimu, mencambuk tubuhmu dengan sabuk kulitnya, dan mengurung dirimu sendiri dalam kamar mandi.”
”Ibumu tak bisa mencegah semua itu terjadi. Dia merasa semua ini adalah kesalahannya karena membiarkan sosok ayah itu tetap hidup dalam duniamu. Dia hanya bisa menangis, melihatmu menyiksa diri. Dia mengangkatmu ke tempat tidur ketika kau hampir pingsan. Membersihkan setiap darah di lantai kamar seakan tak terjadi apa-apa. Dia tak ingin membiarkanmu dirawat di rumah sakit jiwa karena dianggap schizophrenic oleh dokter.”
”Sampai akhirnya kau memutuskan lari pada minuman memabukan dengan alasan tidak tahan perlakuan ayahmu. Padahal kau bukan sedang berlari dari ayahmu, tetapi kau berlari dari dirimu sendiri. Dari alter ego-mu. Dan meninggalkan ibumu dan Tuhanmu!”
Waktu seakan berhenti untuk memberi ruang pada sketsa hidupnya yang satu persatu muncul kembali pada layar pikirannya. Perlahan sosok itu pun memudar dan berangsur hilang dalam gelap.
Dia jatuh tersungkur. Badannya lemas. Dia merasakan pusing yang teramat sangat. Ruangan gelap itu seakan berputar kencang mengelilinginya. Pikirannya kacau. Dia mulai menggumam, mulai meracau. Tak ada lagi batas nyata dan abstrak dalam dunianya. Semua berputar menjadi satu. Begitu cepat memutar……
Dan di tengah pusaran yang berputar, dia melihat sebuah wajah yang begitu damai. Penuh senyuman. Wajah yang tak asing lagi. Dia berteriak, sebelum akhirnya semua menjadi gelap kembali.
BRAKK!!!
Sebuah bunyi keras, membawa kesadarannya kembali. Bunyi pertama yang dia dengar setelah sekian lama dia tak sadarkan diri. Di susul cahaya terang yang perlahan merasuk ke dalam kamarnya. Dia tak bisa bergerak hanya bisa tergeletak, lemah.
Sayup terdengar suara langkah mendekat. Dia tak bisa melihat dengan jelas, kepalanya masih terasa pusing. Sebuah gerakan perlahan nampak samar di depannya. Pendar cahaya sedikit demi sedikit membentuk sebuah garis wajah yang sempurna. Wajah itu, wajah malaikat terindah yang pernah ada. Wajah Ibunya!!
Dirasakannya usapan lembut di rambutnya. Ibu begitu mengasihinya. Dia tersadar dari mimpi buruknya semalam. Ternyata bayang masa lalu masih menaunginya. Tapi tak urung dia mengucapkan ”Alhamdulillah”. Allah masih menyelamatkan nyawanya hingga hari ini dan memberinya kesempatan memperbaiki diri di jalan-Nya.
Kupu-kupu beterbangan di atas sekuntum bunga yang baru mekar. Diam tak bergerak, diamatinya kupu-kupu itu. Mengagumi keindahan warna kupu-kupu, kuning kehitaman. Keindahan bunga berwarna merah muda keunguan. Juga keindahan cerahnya matahari menyilaukan mata. Keindahan suasana hatinya pagi ini.
Ya, hatinya. Dia mencoba membuat suasana hatinya lebih indah pagi ini. Meski jauh di dalam sana, ada yang tetap mengiris, pedih. Sakit. Teramat sakit. Tapi apapun itu, dan bagaimana pun ia kini, Ayah tetap figur idola baginya. Meskipun mungkin sampai mati, dia tak akan pernah tahu, siapa dan bagaimana sosok ayahnya.
Melambai-lambai, nyiur di pantaiBerbisik-bisik, Raja K’lana
Lagu itu kembali terdengar, seperti biasa. Dan seperti biasanya dia pun melakukan aktivitasnya. Membersihkan pekarangan taman ini. Dan bila sore menjelang malam, dia beralih ke belakang. Membersihkan toilet. Begitulah hidupnya sekarang. Kehidupan yang telah dijalaninya hampir lima tahun ini.
No comments:
Post a Comment