Showing posts with label indonesian. Show all posts
Showing posts with label indonesian. Show all posts

September 10, 2013

Awkwardly went to Miss World 2013

Back in blog! Hola Estrella!

Last Sunday (September 8), I got an invitation to attend one of the current most prestigious event in Indonesia, beauty pageant wise. So yeah, as you may guess, this post will be about the whole stories of my journey to watch Miss World 2013 Opening Ceremony, in Bali - Indonesia.



How did I get the invitation? Long storeeeh. But to make it short, let's just say that I won a contest to see a contest :p

October 8, 2010

Abu ?



Aku terbangun dari tidur panjang setelah lelah berjalan seharian menyusuri debu dan asin keringat di jalan-jalan yang sesak uap dan bising kendaraan. Mencari remah roti juga sesuap sarapan dengan gitar tua peninggalan ayahku. Sudah seperti saudara sendiri, aku dan kawan-kawanku menuai cerita sepulang mengamen dari satu lampu merah ke lampu merah yang lain. Dari warung ke warung dan dari rumah ke rumah yang lain.


Aku tak kuasa berdiri dan terhuyung, mencoba menengok jam raksasa yang dipajang di sebuah dinding luar hotel hingga dapat kuketahui waktu menunjukkan pukul lima sore. Hari hampir gelap, biasanya aku dan kawan-kawanku berkumpul di suatu tempat untuk menuai cerita dan mengumpulkan receh penghasilan kami setiap harinya, tetapi mereka belum datang juga. Masih kutunggu hingga pukul delapan malam mereka belum muncul juga. Ada apakah gerangan sehingga mereka belum berkumpul sampai sekarang. Kutunggu hingga waktu menunjukkan pukul sembilan malam, kutatapi bangku kayu lapuk berwarna coklat tua yang pudar tempat kami melepas lelah dan membagi kisah.


Berkali-kali aku melongok ke kanan dan kiri jalan. Kulepaskan pandanganku sejauh mungkin hingga berasa mereka akan segera datang. Ketika mereka datang nanti, aku akan menceritakan dengan jelas dari setiap receh dan lembaran yang kudapat, juga lagu-lagu yang kunyanyikan dengan suara pas-pasan hingga orang-orang yang terasa enek segera memberiku uang agar aku lekas pergi atau malah mengacuhkanku begitu saja. Ada juga di antara mereka sepulang berbelanja ria di sebuah pusat perbelanjaan begengsi membawa beberapa tas belanja hingga tangan mereka tak mampu merogoh saku untuk menyisihkan sebagian yang paling kecil untuk aku dan teman-temanku. Kunanti dengan harapan besar tidak terjadi apa-apa terhadap mereka dan akan kami nikmati malam yang hangat meski tanpa orang tua dan saudara kandung.


Aku menunggu dengan pengertian yang besar kenapa mereka belum berkumpul sampai larut. Kutunggu dengan berbagai kemungkinan yang terjadi. Apakah mereka terlibat tawuran dengan para pelajar yang mengerti bahwa tawuran itu tidak baik dan sangat merugikan banyak pihak, atau mereka dihadang para preman yang biasa merampas hasil yang kami kumpulkan seharian. Ah.. ada apa hari ini, suasana sepertinya berbalik arah. Atau mereka digelandang ke kantor polisi karena kedapatan membawa benda tajam dan obat terlarang? Ah.. kawan-kawanku bersih, kami sudah sepakat untuk tidak berbuat demikian. Atau mereka digelandang oleh satuan polisi pamong praja karena kena razia di tempat-tempat bebas pengamen, atau karena keberadaan mereka mebuat risih dan mengotori pemandangan para borjuis.


Aku masih menunggu kawan-kawanku hingga larut. Tanpa sadar pulas bermimpi tentang kawan-kawanku yang sedang asyik bercanda kemudian aku terbangun, dan menemukan bangku-bangku yang masih sunyi.


Kutemukan semua yang ada di sekelilingku seperti ruh dan batu-batu putih berbagai ukuran dan bentuk, berlubang-lubang, seperti batu apung. Semuanya seperti masa lampau yang sangat lalu hingga asing di mata dan kupingku. Suara-suara makin lindap hingga tiada, lalu kurasakan tubuhku makin ringan dan kian samar hingga aku merasa tak dapat melihatnya lagi dalam waktu dekat. Tubuhku hilang dari bangku yang dipenuhi batu apung.


Aku berada di tempat yang dingin menyejukkan, dingin berangin sekejap-sekejap. Ini hutan, penuh pohon Pinus dan aku sendiri mencari entah siapa, atau mungkin mencari diriku sendiri, tubuhku yang kubawa seperti bukan milikku. Aku masuk ke sela-sela Pinus begitu saja tanpa tahu siapa dan apa yang mengendalikanku, melayang di pinggiran tebing-tebing curam. Sungguh menakutkan bila aku sampai terlepas ke dasarnya. Tapi aku masih saja melayang dan semakin tinggi menyentuh awan-awan yang begitu lembut menelusupi jemari.


Aku tinggi dan lebih jauh hingga tak dapat kutahu entah di sisi cakrawala yang mana. Di bawah sana, kulihat kota-kota sepi dan mati, semuanya batu apung, tanah, debu dan udara seperti abu. Tak ada bising kendaraan dan suara yang kudengar layaknya di kota. Menyusuri udara, dan wilayah yang mana ini, burung-burung menjelma patung, lautan berhenti berderak, ombak yang biasa menjulang pun tak kutemui batang hidungnya. Sungai-sungai berhenti mengalir, semua diam tak bergerak dan tak bersuara. Kutemui di padang bunga semuanya masih kuncup, hilang dari warna-warni dan semuanya pupus.


Adakah kutemui seseorang yang dapat menjelaskan padaku perihal semua ini? Ah.. tubuhku makin ringan melayang begitu saja semakin tak terkendali, tiba-tiba kumparan angin tinggi menjulang menyapu tubuh kapas ini, berputar-putar hingga tak kuasa melihat saking kencangnya. Angin itu menjatuhkanku ke suatu tempat, dan tak kurasa sakit lagi ketika jatuh karena tubuhku hanya kapas. Tempat itu tak asing lagi bagiku.


Kucoba mengingat-ingat dalam waktu yang lama, ternyata aku sedang berada di jembatan kotaku, tapi kendaraan-kendaraan berhenti membising, orang-orang terkumpul di suatu tempat, mereka sama seperti aku, kapas yang tadinya hilang dan melayang lalu terbawa angin yang mengamuk menyusuri cakrawala dan dijatuhkan di tempat ini.


Mereka tak bicara, juga tak mendengar perkataanku, tak dapat saling menyentuh, kami saling asing. Ah.. apa yang ku alami sebegitu jauh, dan sedang apa kami sebenarnya? Menunggukah? Lalu menunggu apa? Ribuan pertanyaan menggumpal di pikiranku saling berebut mencari jawaban dan semakin keras aku berpikir, semakin ringan pula tubuhku. Ia berasap, kepalanya retak lalu pelan-pelan meledak. Biasanya orang yang terkena duka selalu bersedih, tapi aku tak merasakan apa-apa. Aku tak merasa sedih atau sakit kehilangan kepalaku. Aku juga tak merasa senang. Rasaku hanya mengambang, tak bisa jatuh dan melayang. Tubuhku mengepulkan asap dan terbakar, aku tak bisa lagi merasakan panas. Kini aku kehilangan raga yang dulu membawaku dalam dunia nyata dan kini sudah tak bisa dikatakan nyata karena yang nyata ternyata sudah semu. Lalu bagaimana denganku sekarang ini dan apa yang harus kulakukan?


Langit menjelma malam yang sunyi menggetarkan serasa tak ada kehidupan lagi karena semua pekat. Lampu-lampu padam, rembulan dan bebintang sudah enggan menampakkan wujudnya walaupun untuk sekedar menerangi malam yang sangat ganjil ini. Ragaku menghilang dan aku masih punya keinginan, lalu bagaimana mewujudkannya? Perasaan takut, cemas, kebingungan yang tadinya menghilang tiba-tiba muncul. Lalu apa yang dapat ku lakukan untuk memenuhinya dalam gulita tanpa wadah tubuhku.


Ingatanku memulih, menampakkan sesuatu yang kuharapkan. Aku merindukan kawan-kawanku yang menghilang begitu saja dalam waktu yang cukup lama. Apakah mereka menghilang di tempat yang sama? Tak ada yang mendengar suara mereka dan aku. Apa mereka juga terseret arus melalui pintu-pintu hutan pinus? Apa mereka juga melayang dan terdampar di muka dataran yang aneh ini? Juga melewati cakrawala maha luas nan sepi diikuti kebingungan, ketakutan dan kecemasan yang meletup-letup hingga mereka meledak dan terbakar, lalu kehilangan tubuh. Oh.. alangkah sakitnya mereka.


Aku masih berdiri dan terus mencari, mencoba mendengar apa yang dapat kudengarkan, tapi sia-sia karena suara dan cahaya benar-benar telah lenyap. Percuma mengaduk-aduk pikiranku karena sudah tak bisa melakukan sesuatu dengan jiwa yang tanpa raga. Cemasku sebentar tumbuh dan lenyap di kepalaku. ah, bukan, aku lupa bahwa aku sudah tak berkepala, juga tak bertubuh. Tapi aku punya rasa yang dikembalikan setelah tubuhku tiada.

Malam mulai meninggalkan gelapnya, kini perlahan pagi, tapi bukan pagi. Matahari tak muncul, hanya terang saja tanpa kutahu cahaya dari mana ini. Suasana kembali seperti ketika aku terjatuh di area koma ini.


Serpihan tubuhku berkumpul membentuk wadah ragaku dan menyatu dengan jiwa yang hampir lenyap ini, pelan-pelan sekali seperti suatu ritual sunyi yang sangat sakral. Aku kembali dengan tubuh ringan seperti kapas tiba-tiba melayang melintasi gelap tanpa cahaya setitik pun. Tanpa perlawanan ke mana lagi tubuhku berpetualang tanpa kendaliku, melayangi gulita hingga jembatan kotaku yang sudah asing sesak manusia kapas sepertiku, tak bisa mendengar dan bicara kapada siapapun, tak ada pemimpin, tak ada yang dipimpin, tak ada yang sedih dan bahagia. Dari sana, kumparan angin yang menjulang kembali mengambilku, berputar dari poros ke poros dan mataku kembali terpejam lalu dalam sekejap angin itu menghilang tinggal tubuh kapas ini melayang lagi, tanpa kendali dan sangat pelan. Dan masih kulihat di bawah sana orang-orang belum juga pulih. Kulalui kota-kota. Makin abu dan tak ada perubahan yang kian membaik, semua bertambah buruk.


Pelan-pelan sekali aku merasa akan kembali ke hutan Pinus, menelusupi awan-awan lalu turun menyusur Pinus-pinus yang segar dan hijau, juga bunga-bunganya yang berserakan di lantai hutan menambah eloknya, serasa tak ingin kembali dan damai di hutan. Aku tersadar bahwa aku masih belum kembali. Tubuhku memberat seolah ada yang meraih dan mengisi tubuhku dengan suara-suara seperti nyanyian dan sebuah panggilan atau mantra-mantra yang diteriakkan tapi kedengarannya lebih anggun dan bersahaja, memanggil-manggilku dengan pengeras suara.
Ragaku sudah berkumpul dengan jiwa dan memberat. Pelan kuikuti arah suara, mataku terbuka. Samar kutatapi bangku masih kosong dan kawanku belum kembali juga. Aku tersadar bahwa yang memanggil-manggilku dengan pengeras suara adalah gema Adzan dari masjid besar di ujung jalan. Apakah semua yang kualami berhubungan dengan ketidaktahuanku tentang adanya Tuhan? Atau karena aku tak dikenalkan pada Tuhan oleh orang tuaku? Atau aku tak pernah menyebut nama Tuhan sekali pun dalam setiap episode hidupku?



May 28, 2010

Lelaki Sendok Karat

Laki-laki muda itu merapatkan telinganya pada dinding. Penasaran. Tenggelam dalam hasrat ingin tahunya. Tembok dingin itu nampaknya mengeluarkan suara. Walaupun samar, ia sangat yakin kalau ada sesuatu di balik dinding kamar kontrakannya itu. Sesuatu yang menggerakkan imajinya untuk terus mendengar lebih dalam lagi. Ia semakin merapatkan telinganya pada dinding kamar yang berukuran tidak lebih dari 9 meter persegi itu.
“Suara gemerincing. Ya, aku mendengarnya. Suara apakah itu ?” batinnya.
Kemudian ia memindai seluruh ruangan, mencari apa saja yang dapat membantunya untuk mengeluarkan apapun yang ada di balik tembok dingin bercat putih itu.
“Ah, ini mungkin bias membantu!” ujarnya sambil menghampiri sesuatu di atas meja kecil di pojok kamar.
Diambilnya sendok makan logam yang biasa digunakannya untuk makan nasi bungkus. Bersemangat, ia mengacung-acungakan sendok makan itu dan mulai menggaruk dinding sedikit demi sedikit. Lama ia menggaruk, keringatnya mulai bercucuran, mengalir dari atas dahi hingga ujung kaki. Membasahi kaus katun abu-abunya yang sudah terlihat usang. Namun peluh dan keringat sebanyak apapun tidak repot-repot menggubris konsentrasinya. Mata dan hatinya sudah tertuju pada gemerincing dibalik dinding itu. Sesekali dia berhenti menggaruk dan kembali menempelkan telinganya pada dinding, kalau-kalau suara itu hilang dan pekerjaan menggaruknya menjadi sia-sia. Tetapi, suara gemerincing itu semakin keras memukul gendang telinganya. Ia semakin yakin kalau ada sesuatu di balik dinding.
Ia menyeka keringatnya dan melihat dengan puas hasil pekerjaannya. Sudah ada lubang sebesar dua senti pada dinding. Dengan telunjuknya ia meraba hasil pekerjaannya, sensor motoriknya dapat merasakan kasarnya permukaan bata dan semen pada lubang hasil karyanya. Tetapi, lubang itu belum terbuka seluruhnya, benda gemerincing itu juga belum muncul. Belum selesai, pikirnya.
Mengganti peluh yang terbuang dari tubuhnya, ia menenggak air dari teko yang ada di atas meja yang sama dengan tempat diletakkannya sendok logam itu. Kembali ia memandangi lubang pada dinding kamarnya. Ia hampir tak peduli kalau itu bukan kamarnya sendiri. Ia hanya peduli dengan suara gemerincing di balik temboknya. Menurutnya, jika ibu galak pemilik kontrakan ngamuk melihat tembok kamar kontrakannya yang berlubang, itu urusan belakangan, asal benda gemerincing itu bisa ditemukan.
Makin lama ia menggaruk, makin keras terdengar suara gemerincing itu. Begitulah, makin semangat pula ia menggerakkan sendoknya menggerus semen dan batu bata. Mungkin memang awalnya sulit untuk menggerus tembok bata, tetapi kini dengan bulatan tekadnya, semua itu jadi terasa lebih mudah untuknya.
“Klang !”
Akhirnya, sungguh tak dapat dipercaya, sesuatu terjatuh bergemerincing menuju lantai dari dalam lubang. Matanya buas mencari benda bergemerincing itu dan jantungnya berdebar keras saat ia menyentuh benda itu. Sesuatu itu sungguh berkilauan dan menyilaukan. Dia mengamati benda itu dengan cermat dan akhirnya berkesimpulan, itu adalah sekeping koin emas!
Begitu girang ia menimang koin emasnya. Itulah tiketnya untuk meninggalkan kemiskinan selama-lamanya. Diciuminya koin emas itu dan kemudian kembali menatap lubang pada tembok bata lapuk itu. Pasti masih banyak benda seperti ini dibalik tembok itu, begitu pikirnya. Begitulah, akhirnya dia kembali menggaruk tembok dengan sendoknya, dan seperti perkiraannya, makin banyak koin emas bergemerincing jatuh di lantai.
***
“Dia pasien baru ya?” tanya seorang dokter wanita paruh baya berjas putih pada perawat di depannya. Perawat itu hanya menjawab dengan singkat dan memberikan map berisi keterangan pasien dan kertas-kertas penting lainnya.
Dokter itu membuka map yang dipegangnya dan mempelajari keadaan orang yang berada di hadapannya. Sesekali dia mendongakkan kepalanya untuk mencocokkan keadaan pasien dengan hasil analisa pada kertas. Dokter itu memandang dingin pada pasien di depannya yang sedang menggaruk dinding dengan sendok karatan sambil sesekali menempelkan telinganya pada tembok yang dingin. Sang dokter hanya menghela nafas dan menutup mapnya, menyesalkan penderitaan hidup yang dihadapi pasien di depannya, kemudian berlalu meninggalkan pasien baru itu dengan sendok karatannya.
***
Ia pulang dari bekerja, kelelahan dan perut keroncongan, menuju kamar kontrakannya yang sempit, pengap dan bau. Setiap hari, setiap kali dia pulang dari bekerja di pabrik, selalu begitu keadaannya. Kelelahan dan perut keroncongan. Tetapi, gajinya tak pernah naik. Sebaliknya, harga kebutuhan pokok terus naik. Ia semakin tercekik, semakin putus asa.
Laki-laki itu merebahkan diri di atas kasur, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan putus asa. Ia mencoba memejamkan matanya, mencoba melupakan seluruh masalah ekonomi yang menghimpit dirinya. Saat itulah, samar-samar dia mendengar sesuatu dari balik tembok. Sesuatu yang bergemerincing. Sesuatu yang menggiurkan. Kemudian, ia merapatkan telinganya pada dinding.


January 22, 2010

Jangan


Aku ingin tidur.
Jangan bangunkan aku,
Jangan minta aku untuk terjaga ketika hanya 'terlelap'-lah yang aku inginkan...














December 5, 2009

Kisah Seorang Schizophrenic


Di sudut ruangan itu, dengan sebatang Marlboro terakhir di sisa hari ini, dia coba membunuh tangisnya sekali lagi dengan kepulan asap rokok. Kepulan-kepulan asap yang membuat ingatannya mengembara. Kenangan masa kanak yang saling bertubrukan, berhamburan keluar dari memori otaknya. Juga saat-saat terakhir bersama sosok ayah yang tak pernah sempat bisa membahagiakannya.

”Ayah aku rindu,” keluhnya, tertahan pun hanya dalam hati.


Tanah airku IndonesiaNegeri elok amat ku cintaTanah tumpah darahku yang mulyaYang kupuja s’panjang masa

Lamat didengarnya suara nyanyian Rayuan Pulau Kelapa dari tape di dalam ruangan kerja staff administrasi. Dia ingat lagu itu adalah ciptaan Ismail Marzuki. Pencipta lagu yang namanya diabadikan pada taman ini.

Di sini, di antara dinding yang putih membisu, dia ikut bernyanyi. Di antara rintihan irama luka atau nyanyian suka yang kadang terasa sangat dipaksakan. Suaranya mengiringi gesekan pelnya yang seakan menyayat kelu lantai yang sudah muak karena terinjak-injak bertahun-tahun lamanya.


Tanah airku aman dan makmurPulau kelapa yang amat suburPulau melati pujaan bangsa sejak dulu kala

Marmer wastafel yang angkuh itu, yang selalu menuntutnya untuk mengeringkannya. Cermin gagu nan sombong yang selalu merayunya untuk mencemerlangkannya, karena seribu kepalsuan dan kepongahan selalu dan selalu saja memburamkannya. Bau Clorox dari sudut celah-celah dudukan WC yang baru disikatnya itu membawanya semakin larut ke dalam pintu rindu akan sosok seorang ayah yang tiada.

”Seandainya saja aku tidak dikalahkan kepapaan. Seandainya saja hidup itu sangatlah mudah seperti mereka. Seandainya saja… Ya, seandainya saja,” gumamnya lesu.


Melambai-lambai, nyiur di pantaiBerbisik-bisik, Raja K’lana

”Ayah, aku ingin memeluk bahumu sekali lagi dan akan kutumpahkan seluruh cerita hari ini. Betapa lelahnya aku menghadapi hidup,” keluhnya lagi. Dengan enggan dia bangkit dan berjalan gontai. Pulang ke rumahnya. Saat itu jam menunjukkan pukul 21.00 WIB bersamaan dengan berakhirnya lagu Rayuan Pulau Kelapa.


Memuja pulau, yang indah permaiTanah airku……Indonesia.

Kamar temaram. Dia masih merasa canggung menatap wajah dirinya sendiri dalam sosok yang berbeda. Seperti sedang bercermin tetapi bayangan di depannya bergerak melewati bingkai cermin dan mencipta menjadi sosok serupa dirinya sendiri.

“Apa yang salah dengan hidupku? Kenapa aku tidak pernah merasa hidup?” tanyanya kemudian. Sosok itu tersenyum.

“Coba mendekatlah kemari. Dan lihatlah wajahku.”

Dia mendekat. Mengamati wajah dari sosok yang ada di depannya dalam cahaya kamar yang temaram. Dia melihat wajahnya sendiri, hanya saja dia merasa ada sesuatu yang ganjil disana.

“Luka itu?” bisiknya pelan.

“Iya, luka itu tak ada lagi di wajahmu. Dulu luka itu adalah kesalahanmu yang tak pernah kau mengerti,“ kata sosok itu kemudian.

Dia memegang bekas luka di pelipis kirinya. Hampir menyatu dengan kulit dahi. Padahal dulu begitu menganga. Sebuah luka yang tak akan pernah dia lupakan. Luka yang terjadi di saat dia masih berusia 19 tahun. Tepat ketika dia mulai tergila-gila dengan buku-buku Filsafat dan Novel Sastra yang dibacanya di gerai buku di TIM. Freud, Nietzsche, Kant, Voltaire, Plato, dan Tolstoy adalah filsuf idola sekaligus pahlawan baru bagi dunianya. Saat itu semua yang ada menjadi abstrak, termasuk dunia dan apa yang dia rasakan.

Dia dibesarkan sebagai anak tunggal, dalam kondisi keluarga yang membuatnya marah sekaligus menangis. Kemiskinan yang sangat. Hingga untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari ibunya harus berjualan keliling termasuk mangkal di depan TIM. Namun ibunya selalu mengajarkan padanya tentang kebahagiaan sebuah keluarga.

Ibunya adalah sosok seorang wanita pendiam, selalu menutupi kepedihan dalam senyuman agar terlihat bahagia di depan anaknya. Tetapi pada saat yang sama dia sering mendapati ibunya duduk sendiri di halaman belakang dalam gelap malam dan sembab air mata. Dia pikir karena ibunya lelah saja, setelah berjualan seharian dan setiap hari.

Sedangkan sang ayah??!! Tak banyak yang dia ingat tentangnya. Yang dia tahu, Ayah adalah sosok yang tak pernah dia mengerti kehadirannya. Hingga sang Ayah pulalah yang membuatnya terpuruk. Membuat kandas mimpi-mimpinya dulu dan sekarang berakhir sebagai cleaning service di TIM. Dia menggeram. Marah. Dia ingat malam itu lagi….

Sebuah malam ketika sang Ayah pulang larut malam dengan mata merah darah penuh kemarahan. Dan malam itu tanpa alasan yang jelas, sang Ayah memukul dia hingga tersungkur di sudut ruangan. Cincin besi itu merobek pelipis matanya hingga darah mengucur di lantai ruangan hingga dia pingsan. Sejak saat itu, sosok sang Ayah adalah sosok yang sangat menakutkan baginya. Hampir setiap hari sang Ayah selalu mempunyai alasan untuk memukulinya dengan tangan atau mencambuknya dengan sabuk kulitnya. Atau mengurungnya dalam kamar mandi sepanjang malam tanpa cahaya.

Sang Ibu hanya bisa diam dalam tangis, dan baru menghampirinya ketika dia sudah mulai tersungkur di lantai nyaris pingsan. Dalam sisa kesadarannya, dia hanya bisa melihat ibunya berkata sesuatu, tapi dia tak bisa lagi mendengarnya. Saat seperti itu, semua menjadi sunyi. Pendar cahaya hanya bergerak-gerak tanpa suara. Dunia menjadi bisu…..

Luka di pelipisnya mendadak berdenyut. Sakit sekali. Emosi dan kemarahannya pada masa silam, kembali memompa aliran darah berlebih ke otak, sehingga menghasilkan impuls luar biasa sakit pada jaring-jaring syarafnya. Dia terkulai di lantai.

“Tapi ini semua karena kesalahan ayahku!!! Dia yang selalu menghajarku hingga aku pingsan! Dia yang tak pernah mau mengerti anaknya sendiri! Dia yang merobek pelipisku, juga semua bekas cambukan sabuk kulitnya di tubuhku!! Semua karena ayahku hingga akhirnya aku memutuskan untuk lari pada minuman keras!! Kenapa aku yang disalahkan??!!”

Sosok itu menatapnya dalam-dalam.

“Luka itu bukan dibuat oleh ayahmu,” kata sosok itu pelan.

“M….m….maksudmu?”

“Iya. Bukan ayahmu yang membuat luka di wajahmu dan semua bekas cambukan di tubuhmu.”

“Lalu siapa yang membuat semua luka ini?” Sosok itu mendekat.

“Dirimu sendiri,” jawab sosok itu pelan.

Dia merasa limbung dengan jawaban sosok yang ada di depannya. Bagaimana mungkin?

“TIDAK!!! TIDAK MUNGKIIINN!!! Ayahkulah yang setiap hari pulang larut malam dengan mata merah dan menyeretku turun dari tempat tidur. Dia yang memukuliku dan menghajarku hingga aku nyaris pingsan!! Ayahku yang mengurungku sepanjang malam di dalam dingin kamar mandi gelap tanpa cahaya. Ayahku yang melakukan itu semua!! Ayahku yang……..aarrgghh!!”

“HENTIKAN!!!” Sosok itu memegang lengannya.

“SADARLAH!! AYAHMU TAK PERNAH ADA DI DALAM KELUARGAMU! AYAHMU TAK PERNAH SEKALIPUN BERTEMU DENGANMU! DI RUMAH ITU HANYA ADA KAU DAN IBUMU!DAN TIDAK PERNAH ADA SOSOK SEORANG AYAH PUN DI SANA!TIDAK PERNAH ADA!!”

Dia terkulai lemas mendengar jawaban itu. Seandainya jawaban itu bukan dari sosok dirinya sendiri, mungkin dia tidak akan percaya. Semua kata tercekat di tenggorokan, pandangannya nanar, dia jatuh terduduk.

Sosok itu mendekat dan duduk di sampingnya. Sejenak hening menciptakan jarak di antara mereka.

“Ayahmu telah meninggalkan ibumu saat kau masih dalam kandungan. Sejak kecil, hanya ibumu yang mengasuhmu sendiri dengan keringat dan darahnya. Tetapi keinginanmu tentang kehadiran figur ayah, menciptakan sebuah sosok seorang ayah dalam duniamu sendiri. Sosok ayah tempatmu bermanja dan menghabiskan waktu bermain di taman atau memancing di sungai seharian. Sejak kecil kau selalu mengajaknya bicara dan memintanya membacakan cerita sebelum tidur. Padahal di sana tidak ada siapa-siapa.”

”Ibu tahu itu semua, tetapi dia hanya bisa diam dan menangis melihat itu terjadi. Dia tidak ingin menyadarkanmu dan mengambil semua mimpi dan kebahagiaan yang kau rasakan bersama sosok seorang ayah di dalam duniamu. Dia tahu, dia tak bisa memenuhi figur orang tua sepenuhnya bagi dirimu,” sosok itu bercerita perlahan.

Matanya terasa panas, dan perlahan airmatanya meleleh. Dia teringat kembali wajah ibunya yang sembab karena air mata ketika tanpa sengaja dia memergokinya di halaman belakang. Jadi semua air mata itu karena dirinya?

“Sampai akhirnya ketika kau mulai dewasa, dan mulai banyak membaca dan berpikir, sosok ayah yang kau ciptakan itu ternyata tidak juga hilang karena tanpa kau sadari, kau telah merasa nyaman dengan dunia yang kau ciptakan sendiri. Sampai akhirnya sosok ayah itu menjelma menjadi alter ego-mu sendiri. Menjadi wujud dari kemarahan yang ada dalam dirimu. Sosok ayah yang telah memukul pelipismu, menghajarmu dan menguncimu dalam kamar mandi, adalah dirimu sendiri.” Sosok itu menghela nafas. Dia tahu ini akan menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk diterima.

“Luka di wajahmu itu adalah awal dari fase kemunculan alter ego-mu. Malam itu, tanpa sadar kaulah yang telah mengiris pelipismu sendiri dan membenturkan kepalamu hingga berdarah dan nyaris mati. Dirimu dalam ’sosok ayah’ mu yang kau ciptakan sendiri. Sejak saat itu hampir setiap malam kau melakukan hal yang sama. Ego-mu dalam sosok ayahmu yang memukulimu, mencambuk tubuhmu dengan sabuk kulitnya, dan mengurung dirimu sendiri dalam kamar mandi.”

”Ibumu tak bisa mencegah semua itu terjadi. Dia merasa semua ini adalah kesalahannya karena membiarkan sosok ayah itu tetap hidup dalam duniamu. Dia hanya bisa menangis, melihatmu menyiksa diri. Dia mengangkatmu ke tempat tidur ketika kau hampir pingsan. Membersihkan setiap darah di lantai kamar seakan tak terjadi apa-apa. Dia tak ingin membiarkanmu dirawat di rumah sakit jiwa karena dianggap schizophrenic oleh dokter.”

”Sampai akhirnya kau memutuskan lari pada minuman memabukan dengan alasan tidak tahan perlakuan ayahmu. Padahal kau bukan sedang berlari dari ayahmu, tetapi kau berlari dari dirimu sendiri. Dari alter ego-mu. Dan meninggalkan ibumu dan Tuhanmu!”

Waktu seakan berhenti untuk memberi ruang pada sketsa hidupnya yang satu persatu muncul kembali pada layar pikirannya. Perlahan sosok itu pun memudar dan berangsur hilang dalam gelap.

Dia jatuh tersungkur. Badannya lemas. Dia merasakan pusing yang teramat sangat. Ruangan gelap itu seakan berputar kencang mengelilinginya. Pikirannya kacau. Dia mulai menggumam, mulai meracau. Tak ada lagi batas nyata dan abstrak dalam dunianya. Semua berputar menjadi satu. Begitu cepat memutar……

Dan di tengah pusaran yang berputar, dia melihat sebuah wajah yang begitu damai. Penuh senyuman. Wajah yang tak asing lagi. Dia berteriak, sebelum akhirnya semua menjadi gelap kembali.
BRAKK!!!

Sebuah bunyi keras, membawa kesadarannya kembali. Bunyi pertama yang dia dengar setelah sekian lama dia tak sadarkan diri. Di susul cahaya terang yang perlahan merasuk ke dalam kamarnya. Dia tak bisa bergerak hanya bisa tergeletak, lemah.

Sayup terdengar suara langkah mendekat. Dia tak bisa melihat dengan jelas, kepalanya masih terasa pusing. Sebuah gerakan perlahan nampak samar di depannya. Pendar cahaya sedikit demi sedikit membentuk sebuah garis wajah yang sempurna. Wajah itu, wajah malaikat terindah yang pernah ada. Wajah Ibunya!!

Dirasakannya usapan lembut di rambutnya. Ibu begitu mengasihinya. Dia tersadar dari mimpi buruknya semalam. Ternyata bayang masa lalu masih menaunginya. Tapi tak urung dia mengucapkan ”Alhamdulillah”. Allah masih menyelamatkan nyawanya hingga hari ini dan memberinya kesempatan memperbaiki diri di jalan-Nya.

Kupu-kupu beterbangan di atas sekuntum bunga yang baru mekar. Diam tak bergerak, diamatinya kupu-kupu itu. Mengagumi keindahan warna kupu-kupu, kuning kehitaman. Keindahan bunga berwarna merah muda keunguan. Juga keindahan cerahnya matahari menyilaukan mata. Keindahan suasana hatinya pagi ini.

Ya, hatinya. Dia mencoba membuat suasana hatinya lebih indah pagi ini. Meski jauh di dalam sana, ada yang tetap mengiris, pedih. Sakit. Teramat sakit. Tapi apapun itu, dan bagaimana pun ia kini, Ayah tetap figur idola baginya. Meskipun mungkin sampai mati, dia tak akan pernah tahu, siapa dan bagaimana sosok ayahnya.


Melambai-lambai, nyiur di pantaiBerbisik-bisik, Raja K’lana

Lagu itu kembali terdengar, seperti biasa. Dan seperti biasanya dia pun melakukan aktivitasnya. Membersihkan pekarangan taman ini. Dan bila sore menjelang malam, dia beralih ke belakang. Membersihkan toilet. Begitulah hidupnya sekarang. Kehidupan yang telah dijalaninya hampir lima tahun ini.


December 3, 2009

Mereka Yang Paling Setia

Bagaimana bisa aku tidak mencintai batangan-batangan nikotin kalau hanya merekalah teman paling setia di dunia ini, yang menemaniku saat sedih, senang, tertawa, menangis, bernyanyi, berdansa, berteriak, marah, bahkan putus asa. Menemaniku sebelum makan, saat makan, sesudah makan, sebelum menutup mata mengakhiri hari bahkan kembali membuka mata mengawali hari. Dengan setia menemaniku di atas kloset tanpa cerewet, diam ikut merenung bahkan turut menyumbang inspirasi tersembunyi dalam bilik sepi. 
Adakah yang lebih setia dari itu?

Bagaimana bisa aku menyangkal rasa setia mereka dan tidak turut berpartisipasi dalam mentolerasi kesetiaan bersama, kalau hanya mereka saja yang tak pernah mengeluh dengan segala ketidakteraturanku dalam hidup dan menjadi saksi bisu setiap detil rasaku, yang bahkan tak pernah ada yang tahu persis seperti apa yang mereka tahu. Batangan putih yang silih berganti dihisap, hilang tenggelam dalam asap, tak pernah sedikitpun marah dan terluka saat dijadikan pelarian tumpahan kekecewaan namun kemudian rela ditinggalkan dengan sia-sia dalam asbak, bergumul dalam sampah, dan dibuang entah kemana.

Malam ini, batangan putih itu juga yang menjadi saksi di saat semua sahabat lari, hilang, pergi, meninggalkan aku sebatang kara dengan segala permasalahan pribadi yang mereka bilang aku yang mulai sendiri. Di kamar aku membodoh. Dengan underwear berwarna merah darah, dengan tanktop berwarna hitam, gelap, pekat, suram, sesuram hatiku. Menatap cermin besar tertantang di dinding sisi kiri tempat tidurku. Duduk dengan kaki bertopang. Sikap menantang. Aku mencumbu batangan itu dengan penuh haru, seakan ingin menumpahkan unek-unekku, segala dukaku, kecewaku, kekesalanku, amarahku, lukaku, juga kebodohanku. Batangan nikotin menemaniku. Mereka setia di sini. Berusaha menambal luka hatiku dengan menyetubuhi paru-paru pemberi energi penenang, yang entah bagaimana prosesnya memang membuat tenang. Mereka menemaniku menari bersama iringan musik Kitaro-Matsuri. Dentangan kakiku mengikuti genderang instrumen Jepang. Rambutku tersibak. Kakiku menghentak. Tubuhku hanyut dalam instrumen. Dalam asap. Dalam parau hatiku yang meringis. Dalam tangis yang tak ingin aku akui. Dalam musik yang membuatku menari. Menari dalam sepi. Menari untuk lari. Bersama nikotinku.

Jangan salahkan aku, kalau Mama, Papa, calon suami, sahabat -sahabat baik, teman sekedar teman hingga selingkuhan mengatakan aku merokok seperti kereta api uap, mengepul, pul, pul, pul…, tanpa henti. Kamu sudah tahu alasannya, kan? Memang nikotin bangsat yang tak pernah protes kukata-katai bangsat ini sudah menjadi bagian oksigen laknat yang menjadi udara penyokong kehidupanku mengisi ruang paru. Mereka juga entah bagaimana menjadi sumber tenaga ketika aku lupa makan, bahkan memang terkadang aku tak butuh makan, cukup mereka saja.

Sekarang, katakan! Adakah sesuatu yang lebih setia dari pada itu di dunia penuh kepalsuan, perselingkuhan dan pengkhianatan seperti ini? Tidak. Adakah yang lebih bisa mengerti perasaanku dalam sepi, frustasi, atau bahagia melambung tinggi dari pada para batangan nikotin tersebut? Tidak. Bahkan ibu kandungku sendiri tidak bisa mengerti bagaimana perasaanku ketika aku menyepi dalam ruang kamarku sendiri, ditemani makhluk setia yang tak mengerti berbahasa. Ibuku hanya kecewa dalam tumpahan rasa lewat ucap yang seakan penuh logika yang tak ingin kupercaya, tak ingin kudengar dan menyudutkanku seakan menjadi anak durhaka. Ah!

Aku tanya lagi, apa seorang calon suami setia bisa mengerti betapa kecewanya aku saat setiap saat harus berhadapan dengan sikap hambar dan punggung bisu yang membelakangiku saat aku di sampingnya? Tidak. Dia sudah tertidur saat aku diam sendiri, mengumpat, dan memaki dalam hati sambil meringis iba membutuhkan dekapan hangat yang kuat. Lagi, cuma mereka, para nikotinku, cinta sejatiku, yang tahu bahwa aku wanita yang juga butuh belaian sayang, genggaman tangan erat, pelukan kuat walau tak ingin sejauh itu berharap sesi bercinta yang dahsyat dengan orang yang belum tentu tepat, belum tentu terikat kontrak lahir batin denganku atas nama sah, suami.

Ini lagi yang perlu kamu tahu, nikotin-nikotinku tak pernah mengatakan aku munafik hanya karena aku butuh belaian seorang calon suami, berbaring hangat di sisinya dalam sebuah dekapan dengan iringan piano Jim Brickman tanpa menginginkan sesi bercinta. Nikotin-nikotinku tahu bahwa aku seranjang dengan calon suamiku, bahkan tidur dengannya. Tapi, nikotin-nikotinku juga tahu bahwa aku dan calon suamiku tidur sesungguhnya tidur. Bahkan tidurnya calon suamiku benar-benar tidur. Tidurnya meniduri kasur dengan membalikkan punggung, memamerkan kulit indah tanpa atasan yang tak bercela, licin, mulus, tak berjerawat, dan sangat terawat. Nikotin-nikotinku sungguh tahu bahwa aku sangat terluka. Entahlah, apa mungkin ini perasaanku yang tak mau tau saja karena bisa jadi calon suami terkasih menghindari berjuta rasa yang tak mampu ditahan oleh syarafnya saat aku tidur di sisinya dengan tanktop tipis sehingga ia menjustifikasi untuk berbalik dan memberiku punggungnya saja? Tapi, bangsat! Itu jahanam penghancur perasaan. Aku seakan seonggok kotoran tak berharga. Nikotin-nikotinku sungguh mengerti, bahwa aku butuh tangannya saja memelukku kuat dalam dadanya yang hangat. Hanya pelukan. Aku hanya butuh pelukan, itu saja. Karena nikotin-nikotinku cukup tahu bahwa aku tak sebegitu butuh bercinta dengan manusia. Nikotin-nikotinku mengerti, bahwa saat ini, aku cukup puas bercinta dengan mereka saja.

Dan, lagi, ketika frustasi ini seakan membuatku mulai gila. Para sahabat tak ada. Mungkin sebagian dari mereka yang tahu hanya mengiba, dan sebagian yang tak tahu sedang asyik tertawa-tawa. Entah dengan siapa. Entah dengan pacar mereka atau teman sekedar teman yang tak mau mereka akui selingkuhan. Dan, apa sahabat-sahabat manusiaku disini? Malam ini? Tidak. Apa sahabat-sahabat manusiaku bisa selalu ada di dekatku setiap saat setiap waktu? Ketika frustasi menghantui atas tekanan, rasa marah hingga kecewa pada hal-hal yang terjadi denganku setiap saat? Tidak. Seperti malam ini, saat hujan di luar turun merintikki bumi, saat secangkir kopi panas mendifusi kehangatan kesekujur tubuh, para sahabat mungkin tengah sibuk bersembunyi di balik selimut mereka masing-masing, sendiri, atau bersama pasangan mereka, bercinta, mencinta, dicinta. Taik! Mereka bahkan tidak setiap saat selalu tahu kapanpun ‘bangsatnya’ perasaanku berantakan tiba-tiba. Saat seperti malam ini, ketika aku meratapi diri atas kebodohanku sendiri memanipulatif hubungan disfungsi dengan seseorang yang lebih dikenal dengan sebutan trend ’selingkuhan’ di jaman-jaman belakangan. Konflik hati ini tak mungkin pernah dimengerti oleh para sahabat yang terus menerus menyudutkanku dengan rong-rongan perasaan bersalah mengkhianati seorang calon suami setia yang telah menyediakan rumah indah. Dan, lagi, hanya nikotin yang mengerti.

Dalam setarik nafas saja, membaur dalam paru-paru, mereka sudah tahu kenapa aku seperti itu. Kenapa aku memilih menjalani sesuatu yang mempertaruhkan hubunganku yang sangat stabil dengan calon suamiku tercinta yang tak pernah bermasalah. Setidaknya tak pernah bermasalah baginya, tapi bagiku. Mereka, para nikotinku tahu, bahwa aku jenuh. Bukan jenuh karena memaksakan cintaku. Tapi, jenuh karena degradasi perasaan yang tak pernah di update seperti Antivir yang mungkin rutin sebulan sekali memperbaiki diri. Ketika aku mendominasi hubungan dan saat harus selalu menjadi si pembuka cerita hingga si pengurut kaki yang terlalu banyak bicara, aku mulai merasa aku bercakap terlalu banyak, untuk diriku sendiri dan tidak begitu ditanggapi. Tidak ada respons yang jangankan bisa di cerna di terima pun tak ada. Oh, bagaimana bisa dikatakan timbal balik hubungan, ketika hanya aku, lagi, yang begitu dominan, padahal aku perempuan.

Dan, nikotinku tahu. Aku begitu butuh pengakuan perempuan dalam posisi ini. Pernyataan seorang ‘perempuan’ yang selalu kuhindar karena konotasi sempit, tapi kucari malam ini. Aku sebagai perempuan. Perempuan yang juga sesekali ingin disentuh ketika aku ingin disentuh. Perempuan yang sesekali ingin merasakan rasa sayang ketika aku ingin merasa disayang. Perempuan yang butuh timbal balik rasa lewat canda ketika aku butuh merasa dicanda. Calon suamiku tak tahu. Atau aku rasa ia malas untuk tahu. Pecundangnya aku. Hanya nikotinku saja yang mengerti itu. Sebatang benda berwarna putih penghasil asap pengkerat paru. Nistanya aku.

Hanya mereka yang tahu bahwa aku perempuan yang banyak bicara, hanya pada orang yang bisa diajak bicara. Aku perempuan yang bisa dekat hanya pada mereka yang bisa kudekat. Aku perempuan yang bercerita hanya pada mereka yang bisa kuajak bercerita. Dan, aku perempuan yang memberi hangat pada mereka yang bisa kuberi hangat. Lantas mereka juga tidak mengata-ngatai aku seorang munafik, lagi, seperti para sahabat. Karena aku mengenal, berteman, teman lebih dari sekedar teman dengan seorang teman yang lebih dari sekedar teman yang teman. Nikotinku tahu, bahwa dia memiliku sesuatu yang aku butuh. Tapi, terkadang apa yang aku butuh dan ia butuhkan itu menakutkanku. Nikotinku tahu, aku tak berselingkuh, seperti kata para sahabat. Nikotinku tahu bahwa aku tahu dimana aku harus bernyanyi dengan laguku, menari dengan musikku. Dan, mereka tahu persis bahwa ini juga musik lain yang aku dengarkan, aku resapi, aku jalankan, membuatku menari dalam satu waktu sesaat, seperti Kitaro yang berlanjut menjadi S.E.N.S, Clanad, Indra Lesmana, Ryuichi Sakamoto, hingga Kenny G.

Adakah lagi yang bisa lebih setia dari itu? Katakan, ayo katakan! Nikotinku tidak membuatku mabuk, seperti Martini, Balalaika ataupun Vermouth. Nikotinku masih menempatkan akal sehatku di atas kepala. Nikotinku tidak membuaiku dalam tawa palsu seperti selinting ganja. Dan, nikotinku tak pernah menghipnotisku dengan goyangan tanpa henti seperti para ecstasy. Nikotinku menemaniku tanpa pamrih, setidaknya untuk malam ini, untuk hari ini. Adakah lagi yang bisa lebih setia dari pada itu. Ayo katakan!

Adakah kemudian seorang selingkuhan mengerti betapa rapuhnya perasaanku atas sikap pembodohannya dan pembodohanku? Tidak. Dia tak bodoh. Aku yang bodoh. Dan aku merasa dibodoh bodohi oleh perasaan bodoh yang bodoh. Apa yang kurang sempurna dari seorang calon suami setia yang tak banyak bicara, tak banyak bercerita, tak banyak bercakap, tak banyak bertanya, tak banyak maunya, sehingga tak bicara, tak bercerita, tak bercakap-cakap, tak bertanya, dan tak tau maunya. Apakah yang kurang sehingga aku harus memburu-buru perasaan kasih sayang pada orang lain yang baru kukenal. Hinanya aku. Hinanya kamu membuat aku seperti itu. Tapi, aku lebih hina. Jalang!

Ya, apa yang kurang dari selingkuhan yang punya ketertarikan yang sama? Sama-sama menghargai seni, sama-sama bisa timbal balik dalam diskusi, sama-sama bisa bercerita, diajak bicara, hingga bercinta. Gila! Siapa yang gila? Apa aku gila? Lantas siapa yang membuatku gila? Dia. Dia, siapa dia? Dia saja. Dia yang menurutku saja dia. Entah dia yang dia atau dia yang dia lagi. Dia, saja. Yang pasti itu dia.

Dan malam ini aku masih di sini, lelah menari, keringat membasahi diri. Nikotinku masih setia bersamaku di sini. Menemaniku hangat dalam malam penat yang dirintiki hujan. Hujan sialan yang membasahi tubuhku dan menyelimuti dingin yang menggumpal darahku, menjadi gatal pembiang alergi ketika aku berlari dalam kecepatan tinggi di atas sebuah kuda besi. Saat hatiku hancur menerima kenyataan pembodohan perasaan yang aku sadari, tak ia sadari, atau tak ingin ia sadari.

Nikotinku di sini. Calon suamiku, tidak. Nikotinku di sini, sahabat-sahabat baik, tidak. Nikotinku di sini. Selingkuhanku tidak. Nikotinku di sini. Masih setia menemani. Katakan ayo katakan lagi! Adakah yang lebih setia dari pada mereka, nikotin-nikotinku?


Kopi Hitam Pagi Hari

Aku hanyalah kepingan-kepingan jiwa yang berserakan di lantai tempatmu menapak
Tak bernilai jika dibandingkan kilauan cahaya yang tersimpan di sudut matamu
Aku hanyalah senyuman pahit pada kopi hitam pagi harimu
Mencoba merangkak dari pinggir gelas untuk menyentuh bibirmu yang ranum
Adakah kau lihat aku di bawah sini
Mencoba meneriakkan sunyi hati yang terbawa sepi
Galau yang membuncah di hati tertelan kata demi kata
Karena aku hanyalah noda di kain putih yang ingin segera kau enyahkan
Tanpa sadar mengemis hatimu yang takkan berpaling



December 1, 2009

Sebut Saja Aku Gila

Aku disebut gila diantara orang gila, lalu kalau begini siapa yang sebenarnya gila?

Kata orang aku gila memakai sweater tebal dihari yang sangat panas, kata orang aku gila menari ditengah kerumunan orang banyak, kata orang aku gila berlari-lari dilapangan ketika petir sedang ramai menyambar, kata orang aku gila berbicara dengan tanaman.

Tapi mengapa hanya kata 'gila' yang terucap keluar dari bibir mereka ? Mengapa tidak ada yang mau sedikit bersusah-susah bertanya 'kenapa' ?

Impian yang salah. Seharusnya itu yang aku tanamkan dari kecil di otakku, hei bersikaplah seperti orang kebanyakan, tapi aku memilih untuk menjadi yang unik, bukan gila. Mereka hanya tidak pernah mengerti, bahwa aku memakai sweater disiang hari yang panas, karena itu satu-satunya baju yang aku punya, aku menari ditengah kerumunan orang banyak karena aku bersyukur sampai sekarang aku masih hidup didunia ini, aku berlari dilapangan dikala petir menyambar, karena aku gembira karena sudah sebulan ini tidak turun hujan, dan aku berbicara pada tanaman karena tidak ada orang yang sudi untuk mendengarkan kisah sukaku atau dukaku, tapi lagi-lagi aku disebut orang gila...

Demikian mereka memandang aku, tapi aku yakin orang yang ramai-ramai menyesengsarakan rakyat, merekalah yang harusnya disebut orang gila, mereka yang duduk di cafe atau membuang uang ke pelacur-pelacur itu sementara didepannya ada orang yang merintih kelaparan, merekalah yang seharusnya dikatakan gila. Mereka yang mengambil lahan tempat tinggal kami dan membiarkan kami mati dengan perlahan, merekalah yang paling gila....

Hmm ... Ya sudah baiklah, aku tidak mempedulikan kata-kata gila dari orang macam mereka. Kegilaan sudah lama bernaung didalam pikiran aku, kamu, bahkan kita.

Tapi tolong, jangan sebut aku orang gila hanya karena kamu menganggap diri kamu sempurna.



November 19, 2009

Gerimis



Gerimis. Dan dia diam.

Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam. Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara. Jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara.

“Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.

“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.

Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta. Setumpuk firman dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti kami berdua bila melakukannya. Sederet nilai seolah menjadi jangkar yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.


Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis terus-menerus turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat. Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB. Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
Tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”

dan di luar masih saja gerimis..



**


Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.

“Kutunggu di taman yang dulu, jam 5 sore ini. Alena.”

Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya. Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah. Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak percaya.

Bagaimana mungkin Alena tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupanku. Telah delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan tentangnya. Let the dead is dead. Yang mati biarlah mati.

Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada redaktur sore ini juga. Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya. Semua sudah ada di kepala.

Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam. Tanganku tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10 angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti. Bahkan tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L E N A…

Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera batin. Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris tak terlawan. Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu krypton?

Arrgghh…mengapa aku masih saja seperti ini.

Alena adalah kosong. Nama dan bayangannya telah kubunuh bertahun-tahun lalu.

Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu. Ia hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.

Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah lenyap. Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.

Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus datang menemui Alena sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.

Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman. Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami. Aku duduk sendirian. Alena belum datang.

Alena bukan lagi kosong. Sore ini ia berubah wujud menjadi teka-teki silang buatku. Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban. Apa kabarnya? Apakah yang diinginkannya dariku sore ini? Masih kah wajahnya yang tirus membius itu mampu memompa adrenalinku? Entahlah…

Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam. Alena belum juga datang.

satu jam, dua jam, tiga jam. Alena belum juga hadir melegakan penantianku.

Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua. Sudah lima jam aku menunggu di bangku taman ini. Sendiri.

Akhirnya aku berdiri. Berjalan menerobos gerimis. Meninggalkan kosong, menuju pasti.
Walau malam gerimis…



***




Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku pelan.

“Mari kita pulang. Biarkan dia istirahat dengan tenang”. Aku menoleh, lalu mengangguk.“Bukan hanya kamu yang merasa kehilangan. Tapi, sudahlah. Dia telah memilih jalannya sendiri,” ujar ayah Alena sambil tetap memegangi pundakku.

Aku berdiri, kemudian mengiringinya meninggalkan pekuburan tempat Alena baru saja ditanam. Belum genap lima meter berjalan memunggungi kuburan, aku sudah diburu rindu. Kusempatkan lagi menengok gundukan tanah basah tempatnya menjalani tidur panjang tanpa mimpi. Tiba-tiba saja aroma kamboja meruap. Lembut. Dalam sedetik seluruh pekuburan menjelma putih kapas. Aku tergeragap. 

Ah, malaikat memang tak pernah mau hadir terlambat. Ia selalu datang dan beruluk salam pada penghuni baru, tepat setelah langkah ketujuh pelayat terakhir meninggalkan makam.

Daun-daun akasia yang berwarna kuning banyak berjatuhan. Ia seolah mengabarkan kelelahan bertahan menghadapi kemarau yang membakar dan tak putus-putus. Senja ini aku duduk sendiri di bangku taman akasia. Satu demi satu kubuka tiap lembar halaman buku harian Alena. “Sebelum masuk rumah sakit jiwa Alena tak sekecap pun mau berbicara. Dia hanya menulis. Rupanya ada banyak hal yang ingin disampaikannya kepadamu. Ambillah! Kamu lebih berhak untuk menyimpannya,” ujar mama Alena ketika aku mampir ke rumahnya seusai pemakaman.

Membaca buku harian Alena membuat kesedihan tumpah ruah.

7 Desember 2008 (malam jahanam)Tuhaaaaan!!!!!! Takdir macam apa ini????? KAU biarkan bajingan bajingan itu mengobrak-abrik kehormatanku, menindas kemanusiaanku. Apa salahku????? Bukankah KAU yang berkehendak menjadikanku perempuan???? Kenapa KAU relakan orang-orang itu melecehkan martabat yang sudah kujunjung tinggi-tinggi???? Aku benci KAU Tuhan. Aku benci Tuhan yang telah membiarkanku diperkosa.

30 Desember 2008Lihat, lihatlah…aku mual-mual tanpa ampun. Jangan…J angan sampai aku hamil oleh benih para jahanam itu. Tolong Tuhan, sekali ini saja dengar dan kabulkan permintaanku!

31 Desember 2008
Fucking Pregnant…!!!!!!!!!!

1 Januari 2009
Resolusi awal tahun: Bunuh Diri

7 Januari 2009 Menatap mata teduhmu sore tadi membuatku luluh lantak. Mengingat caramu merayuku berbicara seperti menahan rasa perih sebab tertikam tepat di ulu hati. Aku mencintaimu. Sebab itu kalimatku tak pernah sampai. Aku tak pernah tega mengabarimu yang sebenarnya. Aku ingin kau membenciku. Karena itu bisa mengeruk perasaan bersalahku yang bergunung-gunung kepadamu. Aku ingin kau membenciku, seperti aku membenci takdir yang berjalan buruk.

8 Januari 2009 Aku masih mencintai gerimis, dan membenci badai.

13 Januari 2009 Virginia Wolf membunuh dirinya sendiri dengan mencebur ke dalam sungai. Hitler tewas setelah menembak kepala sendiri di lubang persembunyiannya. Cak Sakib tetangga sebelah rumah mati dikeroyok massa karena dituduh dukun santet. Ustadz Rojil mengembuskan penghujung nafasnya saat sujud salat di musala rumahnya. Adakah bedanya bagiku? Tidak ada! Kematian sesungguhnya peristiwa biasa. Kecuali ia menimpa orang-orang dekat kita.

18 Januari 2009 Janin dalam rahimku tumbuh bersama kebencianku pada hidup.

21 April 2009 (Saat aku ragu apa gunanya menjadi perempuan) Ini hari kartini. Sudah seminggu aku tergolek di rumah sakit, Mama memergoki dan menggagalkan usahaku bunuh diri. Aku tetap hidup, tapi janinku mati.

18 Agustus 2009
Lucu. orang-orang menganggapku mulai gila. Padahal, sungguh aku tidak apa-apa. Aku hanya muak pada garis dunia yang tidak berpihak kepadaku.

19 Maret 2009
Dear Erlangga. Tiba-tiba aku kangen kamu. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Aku ingin kita bertemu di taman yang dulu, tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Tahukah kau betapa sakitnya terpuruk pada keinginan yang tak sampai. Aku mencintaimu lebih dari sekedar yang bisa aku lakukan. Alena.

21 Mei 2009 Hari ini aku masuk rumah sakit jiwa. Bukankah itu artinya aku sudah benar-benar gila??!!! Hahahahaha. Sungguh aneh orang-orang itu. Kamu percaya bahwa aku tidak gila kan?

28 Oktober 2009
Bisa jadi cinta memang buta, tapi kita tidak. Aku ingin memilihmu menjadi pengantinku di surga nanti. Kamu mau?

1 November 2009 Hari ini aku ulang tahun. Sejak pagi tadi aku sudah mandi. Perawat rumah sakit memujiku cantik. Iya, aku memang sengaja berdandan paling cantik hari ini. Bukan untuk meniup lilin ulang tahun, tapi untuk pulang menuju Tuhan. Dua hari lalu aku sudah berhasil mendapatkan arsenik yang kupesan pada tukang es cendol yang biasa mangkal di luar zaal rumah sakit jiwa. Aku yakin racun itu akan menjadi menara Babel yang undakannya bisa mengantarku ke surga. Dunia, selamat tinggal.


Kututup buku harian Alena. Kurapalkan doa buatnya. Lalu, kutinggalkan bangku taman akasia bersama gerimis yang tiba-tiba datang bersama semerbak kamboja.

Selamat sore Alena…




November 16, 2009

Nomor 4

Tarik.. Embus.. Tarik.. Embus lagi..

Hanya itu.. Tak ada lagi yang kulakukan. Tanganku yang biasanya sibuk dengan cangkir dan sendok kopi, sekarang hanya terongok tak berdaya di meja. Sama seperti pemiliknya.
Mataku masih terpaku di meja nomor empat. Meja, yang hingga dua minggu lalu masih kutatap dengan rasa ingin tahu dan terpesona, bukan rindu dan nelangsa. Meja, yang hingga dua minggu lalu masih kuhampiri dengan langkah-langkah penuh semangat, bukan kuhindari.


***

Seperti biasa, aku berdiri di balik bar table. Mondar-mandir menyiapkan berbagai macam ramuan kopi, memberi taburan Choco-granulle ke atas busa cappuccino, atau sekedar mengecek persediaan bubuk hitam yang disebut kopi. Bagi beberapa orang, pekerjaanku mungkin menjemukan. Tapi aku menikmati profesiku sebagai barista. Aku mencintai kopi. Aku mencintai aroma dan sensasi yang mereka ciptakan. Mungkin karena hal inilah, tak ada wanita yang benar-benar singgah di hidupku.

Bukan menyombong. Tapi aku terlahir dengan wajah tampan dan daya pikat yang sulit ditolak. Ini kumanfaatkan untuk menaikkan omset cafe tempatku bekerja. Tiap hari, aku tersenyum kepada para pelanggan wanita dari balik meja kasir, seraya memberikan pesanan mereka.

Tapi percayalah.. Aku sama sekali tak menikmati hal ini.
Senyum yang penuh dengan kepalsuan. Dalam hati, aku mati-matian mengutuki hal ini. Lagipula, tak satu pun dari wanita-wanita itu yang benar-benar menarik perhatianku. Tak satu pun dari mereka yang cukup berharga untuk kuberi senyuman tulus. Satu-satunya hal yang bisa membuatku tersenyum tulus hanyalah uap kopi yang begitu kucintai. Arini yang biasanya tak pernah berkomentar pun mengamini hal ini. Ia pernah berkata padaku:

“Dewa. Aku tahu kamu mencintai kopi lebih dari apa pun. Tapi sediakan tempat untuk wanita juga di hatimu.”

Aku hanya tersenyum tipis dan berkata:

“Lalu kau akan meminta tempat di hatiku itu untuk dirimu?”

Arini yang baik. Jika wanita lain yang kuberi kata-kata itu, hanya ada dua kemungkinan reaksinya. Pertama: dia akan membalikkan badannya dan melenggang pergi dengan wajah merah. Kedua: mereka akan menjawab aku ini laki-laki kurang ajar, kemudian menjawab mengiyakan pertanyaan itu. Tapi gadis manis itu hanya tertawa merdu dan melambaikan jari manisnya yang dihiasi lingkaran emas.
Begitulah gambaran sekilas tentang hari-hari yang selalu kulewati di cafe. Boleh dibilang, aku lebih banyak bersosialisasi dengan kopi, ketimbang dengan manusia real. Namun, entah bagaimana aku menikmati hal ini. Mungkin aku akan terus hidup dengan pola seperti ini, kalau dia tidak datang ke cafe dan duduk di meja nomor empat.


***

Hari itu, Jakarta diguyur hujan yang amat deras. Cafe kebanjiran orang yang ingin menghangatkan diri. Aku benar-benar kewalahan menghadapi ini. Meski udara di dalam cafe agak dingin, wajahku bersimbah peluh. Kemejaku melekat kuat ke tubuhku. Itulah pertama kalinya aku membenci uap kopi. Aromanya yang harum membuatku mual. Namun, betapa pun aku sebal dan jemu, senyum tak pernah lepas dari bibirku.

Barangkali rasa jemu dan sebal itu akan terus bercokol di hatiku sampai hari ini berakhir. Tapi, sebuah suara membuat rasa frustrasi-ku lenyap nyaris seketika.

“Bisa pesan Dilmah tea yang lemon?”

Aku mengerutkan alisku sejenak. Bukan karena mendengar pesanannya. Tapi karena nada suara yang ditangkap telingaku. Begitu tenang. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan nada suara yang biasa kudengar. Aku mengangkat wajahku dari cangkir berasap yang sedang kuberi krim. Sesosok gadis berdiri di hadapanku. Matanya yang hitam mentapaku lurus-lurus.

Mungkin karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya, gadis itu mengulanginya dengan suara tenang yang sama:

“Bisa pesan Dilmah tea lemon?”

Dengan geragapan aku menjawab pertanyaan itu:

“Eh.. iya..bisa. Mau pakai gula biasa atau diet?”
“biasa aja.”
“Ditunggu, ya..”

Gadis itu hanya mengangguk. Ia sama sekali tak tersenyum ataupun mengedip genit padaku. Hal yang jarang kudapati dari pelanggan-pelanggan wanita yang lain. Dengan gerakan yang luwes, gadis itu mengangsurkan uang ke Arini yang bertugas di kasir dan berjalan anggun ke meja. Aku mengawasi gadis itu menarik kursi dan duduk dengan santai di dekat dinding kaca yang menjadi pembatas cafe ini dengan dunia luar.

Karena mataku masih mengawasi gadis itu, tanganku nyaris menampar teko berisi krim. Buru-buru aku menarik diriku ke alam nyata dan memusatkan pikiran untuk membuat pesanan gadis itu. Begitu selesai, aku tak mengijinkan siapa pun selain diriku, untuk mengantarkan pesanannya. Sesuatu yang baru pertama kali ini kulakukan. Dengan sigap, aku berjalan ke meja tempat gadis itu duduk dan dengan lembut meletakkan cangkir porselen putih di hadapannya.

“Satu dilmah tea lemon,” kataku sambil tersenyum. Senyum tulusku yang pertama hari ini.

Gadis itu kembali menatap mataku lurus-lurus. Kumanfaatkan hal ini untuk mengamati tiap jengkal sosoknya.

Wajah oriental yang terbingkai rambut hitam panjang yang dilayer. Mata hitam. Kulit kuning langsat. Hidung mancung. Tubuh ramping yang terbungkus hoodie putih bermotif Mickey Mouse. Namun, bukan sosoknya yang begitu sederhana–jika dibandingkan dengan pengunjung lain–yang membuatku tertarik. Aku memberikan senyumanku pada gadis itu. Tapi yang terjadi selanjutnya membuatku bengong. Gadis itu menatapku dengan tatapan datar yang nyaris tak pernah kuterima seumur hidupku. Namun tatapan itu–anehnya–malah membuatku tenang. Bukan risih ataupun jengkel

“Kamu dipanggil, tuh,” gadis itu mendadak bersuara. Memaksaku kembali ke realita.

Dengan cepat, aku menoleh ke meja kasir. Benar saja, Arini sudah melambai-lambaikan kertas pesanan dengan gerakan seolah dia ingin mengusir lalat yang beterbangan di sekeliling kepalanya. Buru-buru aku berjalan ke kasir dan membuat pesanan-pesanan itu secepat aku mampu. Sambil meracik kopi, aku terus menerus berharap agar gadis itu masih duduk di meja itu ketika aku selesai.

Sayangnya, ketika aku selesai meracik semua pesanan keparat itu, gadis itu sudah lenyap. Dengan putus asa, aku menayai semua waiter perihal gadis itu. Tapi tak ada yang melihat gadis itu. Namun aku yakin itu bukan sekedar mimpi siang bolong. Karena, ketika aku menghampiri meja di dekat dinding kaca itu, pandanganku jatuh ke sebuah cangkir porselen putih. Dengan hati-hati, kuangkat cangkir kosong itu. Masih hangat. Dengan perasaan gembira, aku menatap cangkir yang menjadi bukti kehadiran gadis itu.


***

Hari yang amat cerah. Secerah senyumku saat ini. Sebuah earphone terpasang di telingaku. Terhubung dengan iPod yang tersembunyi di balik celemekku. Dengan riang, tanganku menggerakkan sendok, teko, cangkir, jepitan gula, dan sebangsanya, mengikuti permainan gitar John Mayer. Dua hari setelah hari hujan itu, gadis itu singgah lagi di cafe ini. Begitu pula hari-hari berikutnya. Nyaris tiap hari gadis itu datang ke cafe ini. Selalu pesanan, tempat duduk, dan rutinitas yang sama. Setelah memesan Dilmah tea lemon–terkadang dengan croque madame atau cinnamon bread–gadis itu akan berjalan dengan langkah anggun ke meja di dekat dinding kaca dan duduk dengan santai di situ. Di meja bernomor empat. Kemudian dengan langkah sigap, aku akan mengantarkan pesanannya.

Terkadang dia mengutak-atik BlackBerry-nya. Tapi aku lebih sering melihatnya sibuk dengan buku sketsa dan pensil arang. Tangannya yang ramping bergerak-gerak dengan lincah. Menuangkan sosok-sosok yang ada di dalam pikirannya ke atas kertas putih. Selama dua bulan berikutnya, aku hanya memandangi gadis itu dari balik meja kasir. Entah kenapa, tak terlintas pikiran untuk mengajaknya bercakap-cakap. Tiap hari, aku mengamati tiap jengkal dari sosok sederhana itu. Mengamati hoodie apa yang dia pakai minggu itu, sepatu apa diinjaknya, kaus warna apa yang melekat di tubuhnya. Hanya itu.

Aku sendiri heran. Mengapa gadis yang begitu sederhana bisa membuatku begitu tertarik dan penasaran. Mungkin karena dia begitu berbeda dengan sosok gadis-gadis kosmopolitan pada umumnya. Tak ada merk internasional yang melekat di tubuhnya. Ia tak pernah duduk dengan mata terpaku pada seorang laki-laki. Dia juga tak pernah duduk bergerombol dengan gadis-gadis lain atau didampingi pemuda lain. Yang terakhir inilah yang membuat harapanku naik sedikit. Mungkinkah ada sedikit peluang untuk memenangkan hatinya?

Maka, sedikit demi sedikit, aku mengajak gadis itu bercakap-cakap. Dari apa yang telah kami bicarakan, hanya namanya saja yang berhasil kukorek. Inka, mahasiswi seni rupa. Selisih tiga tahun denganku. Hanya itu. Bahkan nama panjang, hobi, dan kesukaannya pun aku tak tahu. Dia begitu tertutup. Inka adalah gadis pertama yang tidak luluh oleh senyumku. Selama tiga bulan berikutnya, aku berusaha membuat Inka bicara lebih banyak padaku. Tapi bibir itu hanya menjawab pertanyaanku ala kadarnya saja. Tak pernah ada jawaban panjang lebar atau pertanyaan untukku yang keluar dari bibir mungil itu. Hanya menjawab. Tak pernah bertanya balik. Selalu begitu.

Tetapi, meski bibir itu tak pernah menyunggingkan senyum. Mata hitamnya selalu menatap mataku lekat-lekat. Lambat laun, aku menyadari satu hal. Di balik tatapannya yang tenang itu, terkubur jutaan ekspresi yang begitu hidup. Pernah aku menceritakan lelucon konyol padanya. Tapi–sekali lagi–ia tak memberikan reaksi yang kuharapkan. Inka hanya tersenyum. Namun sekilas aku menyadari, meski dia tak tertawa, matanya memancarkan keriangan orang yang sedang tertawa. Aku menatap mata yang riang itu sambil tersenyum hangat. Itulah pertama kalinya aku menyadari betapa hidupnya tatapan mata Inka.

Keesokan harinya, aku nekat mengajak Inka ke cinema untuk menonton ‘Inkheart’. Kenapa film itu? Dari sekian banyak percakapan hambar yang kulalui dengannya, aku berhasil tahu kalau Inka sangat menyukai Brendan Frasser. Maka siangnya, aku menghampiri meja nomor empat. Aku berdehem sekali untuk menyingkirkan ganjalan sialan di kerongkonganku sebelum berkata:

“Inka..would you like to go to the cinema with me tonight?”

Kalaupun Inka terkejut dengan ajakanku yang mendadak ini, ia menyembunyikannya dengan sangat baik. Sambil menatap matanya yang indah lurus-lurus, aku menyilangkan jariku di balik punngung. Berharap nasib baik menghampiriku kali ini. Lalu, dengan dada sesak karena kegembiraan aku melihat dia mengangguk pelan dan memberiku senyum lebarnya yang pertama.

“Jam delapan malam kujemput?”

Sekali lagi ia mengangguk. Tuhan.. Kau telah memberiku hal terindah di dunia ini. Kemudian, Inka memberiku secarik kertas. Di situ, tertulis alamat rumah dan nomor handphone-nya dengan tulisan tangannya yang tegas.

“Kalau mau tanya arah, telepon nomor ini aja,” katanya

Dadaku begitu sesak dengan kegembiraan. Nyeri rasanya. Tapi aku tak peduli, meski rasa sesak itu tetap bercokol di dadaku hingga waktu aku menjemput Inka malam itu.

Sementara dia bersiap-siap, aku duduk di ruang tamunya. Rumah itu sederhana, tapi begitu nyaman dan hangat. Seperti Inka sendiri. Sekonyong-konyong aku menyadari, tiap sudut ruangan itu dihiasi gambar sketsa yang terpigura rapi. Aku bangkit dari sofa dan menghampiri pigura yang paling dekat denganku. Aku kaget ketika melihat tanda tangan kecil yang tertera di sudut sketsa bunga itu.

Inka, 290609

Kuamati tiap senti dari sketsa itu. Tak ada satu goresan pun yang terlewat oleh mataku. Padahal itu hanya sebuah sketsa bunga biasa, tapi aku bisa merasakan seluruh jiwa Inka di situ. Hal yang sama kurasakan di sketsa-sketsa yang lain. Aku mengamati tiap sketsa dengan perasaan kagum, sampai akhirnya aku berdiri di depan pigura hitam sederhana. Aku merasakan wajahku memanas ketika meihat sosok di kertas yang ada di balik kaca pigura itu. Seorang laki-laki muda tampan. Tangannya sibuk dengan berbagai peralatan yang biasa digunakan oleh barista. Dengan napas tertahan, aku melihat sketsa diriku. Seperti sketsa-nya yang lain, Inka juga membubuhkan tanda tangan kecil di sudut sketsa diriku. Dan seperti sketsa-nya yang lain, aku dapat merasakan jiwa Inka di situ.

“Maaf kalau jelek ya, Wa..”

Aku menoleh. Inka sudah berdiri di belakangku, entah sejak kapan. Tampak begitu manis dalam balutan cardigan hitam. Aku tersenyum padanya dan menggeleng.

“Kita pergi sekarang?” Tanyaku sambil mengulurkan tangan.

Inka mengangguk dan menyambut tanganku. Sekali lagi dadaku sesak dengan kegembiraan. Kurasakan jemarinya yang lembut dalam genggamanku. Kutatap mata indahnya dan kusadari tatapannya yang begitu tenang dan hangat, serta senyumnya yang begitu mempesona.


***


Enam bulan berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Inka. Genap empat bulan sudah aku berhubungan dengan Inka melalui SMS, Messenger, dan percakapan di cafe. Aku menikmati tiap saat aku bercakap-cakap dengannya. Menikmati setiap kesempatan untuk mendengarkan tawanya, melihatnya tersenyum, memperhatikan gerak bibirnya saat berbicara, dan menatap matanya yang tenang. Tiap hari, di sela-sela waktu kerjaku, aku menyempatkan diri untuk duduk di hadapannya di meja nomor empat.

Pernah kutanyakan pada Inka alasannya selalu duduk di situ. Ia tersenyum sejenak dan berkata dengan nada santai:

“Karena aku bisa melihatmu dengan sudut pandang yang berkualitas.”

Aku tertawa mendengarnya. Inka juga ikut tertawa dengan suaranya yang lembut. Suatu kali ia pernah kutawari untuk duduk di coffee bar, namun ia tak begitu nyaman dengan hal itu.

“Aku bukan peminum kopi, Dewa. Aku tak bisa menikmati uap-nya seperti yang kamu lakukan,” katanya.

Memang. Selama ini Inka tidak pernah memesan kopi. Selalu dilmah tea lemon.

Setahun berlalu. Aku dan Inka makin akrab. Kegembiraan murni di hatiku tak pernah surut. Membuatku tersenyum tulus pada siapa pun. Bahkan pada para pelanggan wanita genit yang kubenci sekali pun. Tapi ada orang yang lebih gembira dari pada aku. Orang itu adalah Arini. Dengan bersemangat ia membantuku memilihkan kado untuk Inka.

“Akhirnya kamu mengijinkan seorang gadis mengisi hatimu, Wa!” Katanya girang.

Aku hanya tertawa kecil melihat reaksinya ketika aku memberitahunya kalau aku jadian dengan Inka. Selama beberapa waktu, aku menyangka kegembiraan ini akan terus bertahan hingga akhir hidupku. Tapi sebuah peristiwa memaksaku bangun dari angan-angan indahku dan menghadapi realita pahit kehidupan.

Semua berawal ketika Inka tiba-tiba absen singgah di cafe. Aku mencoba menghubunginya lewat telepon dan SMS. Tapi hasilnya nihil. Berkali-kali kuperiksa status Messenger-nya, tapi selalu unavailable. Akhirnya aku berusaha meyakinkan diriku bahwa dia hanya sibuk. Tapi keyakinan itu runtuh ketika seminggu berlalu tanpa kehadiran Inka di cafe. Aku memutuskan untuk menyambangi rumahnya. Berharap dia akan menyambutku dengan wajah kusut dan kelelahan. Tapi aku terpaksa menerima kenyataan pahit lain. Rumah kecil itu tertutup rapat. Kutanyai semua warga yang ada di sekitar situ, tapi hasilnya nihil. Dengan hati galau, aku pulang dan kembali melanjutkan usaha sia-siaku untuk menghubunginya.

Dua minggu berlalu. Aku memutuskan untuk kembali menyambangi rumahnya. Hatiku mencelos ketika melihat sejumlah karangan bunga berjejer rapi di halaman rumahnya. Sebutir kristal cair jatuh dari mataku ketika aku membaca nama yang tertera di salah satu karangan bunga itu.

"Inka Devanti Issoetranto"

Nama panjang Inka tertera bersama ungkapan duka cita yang ditujukan padanya. Pada kematiannya.

Bagaikan kesetanan, aku berlari ke bagian dalam rumahnya. Tak kupedulikan seruan marah orang-orang yang kutubruk. Langkah seribuku baru berhenti ketika aku tiba di ruang tamu. Hanya ada lima orang di situ. Keluarga Inka. Namun perhatianku sepenuhnya tersita oleh kehadiran sebuah peti mati sederhana yang terletak di tengah-tengah ruangan. Kuberanikan diriku untuk menghampiri benda itu dan melihat ke dalamnya.

Bahkan dalam genggaman kematian pun, ketenangan itu masih ada. Ketenangan dan kehangatan yang biasa kujumpai dari Inka, masih terpancar dari sosoknya yang terbalut gaun broken-white dan dikellilingi lily putih. Tapi mata indah yang penuh dengan kehidupan itu kini terpejam. Tak lagi memancarkan pesonanya.

“Inka..” panggilku lemah.

Dia tetap terbaring diam. Gadis yang telah menarikku keluar dari duniaku yang menjemukan, kini terbaring mati. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menariknya keluar dari kematian.

“Inka, buka matamu.” Tenggorokanku tercekat menahan tangis

Seorang pria paruh baya menepuk bahuku. Ekspresinya letih dan matanya masih merah. Orang yang akan kupanggil ‘ayah’ di masa depan nanti.

Aku berusaha menyingkirkan pengganjal yang hadir di kerongkonganku. Tanganku terkepal erat. Menahan segala emosi yang siap meledak.

“Apa yang terjadi padanya?” Desisku
“Demam berdarah. Kami terlambat menyadarinya. Ketika Inka dibawa ke rumah sakit, semuanya sudah terlambat,” jawab pria itu dengan suara parau.

Pria itu menatapku dengan pandangan kuyu dan berkata:

“Kau yang bernama Dewa, ya?”

Aku mengangguk kaku.

“Inka tidak ingin kamu tahu tentang apa yang terjadi padanya. Ia tak ingin membuatmu cemas,” kata pria itu dengan suara parau yang sama.


***


Dua minggu telah berlalu semenjak kamu pergi selamanya dari hidupku Inka. Dan inilah aku, berdiri di balik coffee bar. Melamun dengan tangan menganggur. Tak lagi menggerakkan teko, cangkir, gelas takar, dan sendok kopi dengan riang. Tak lagi merobek bungkus dan menyeduh dilmah tea lemon untuk kamu, Inka. Mataku tak pernah meninggalkan meja nomor empat. Meja yang menjadi saksi bisu kebersamaan kita, Inka.

Arini terus menerus berusaha menghiburku. Tapi aku tak pernah bereaksi. Arini yang baik. Tak pernah sekali pun dia meninggalkanku. Inka, apa kamu akan marah kalau aku menanggapi Arini? Apa kamu marah kalau aku membawa sketsa diriku yang kamu buat ke rumahku? Aku telah menggantungkan sketsa itu di dinding kamarku. Karena melalui sketsa itu, aku bisa merasakan jiwamu, Inka. Hanya sketsa itulah yang bisa memberiku kenyamanan. Aku tahu kamu ingin aku melanjutkan hidupku. Tapi aku tak sanggup berdiri di belakang coffee bar cafe ini lagi. Karena pemandangan yang pertama kali kulihat pasti adalah meja favoritmu. Meja nomor empat.

Aku memang pengecut, Inka. Kamu pernah bilang begitu, kan? Meski dulu kamu bilang begitu hanya untuk bercanda, tapi sekarang itu benar. Setahun kemudian, aku pindah ke Italia. Aku tak sanggup menghadapi kenangan akan keberadaanmu di meja itu, Inka. Aku bekerja di cafe kecil di pinggiran kota. Tak ada meja bernomor empat. Hanya dua meja kecil ditempat ini dan coffee bar berbau uap kopi yang panjang. Tapi Inka, aku tak melupakanmu. Sketsa itu masih tergantung di dinding flat-ku. Tak tersentuh debu. Sketsa itu akan selalu memberiku kenyamanan dan ingatan tentang seorang gadis sederhana yang telah memberiku ketenangan melalui mata hitamnya yang gemilang. Seorang gadis bernama Inka.