Aku terbangun dari tidur panjang setelah lelah berjalan seharian menyusuri debu dan asin keringat di jalan-jalan yang sesak uap dan bising kendaraan. Mencari remah roti juga sesuap sarapan dengan gitar tua peninggalan ayahku. Sudah seperti saudara sendiri, aku dan kawan-kawanku menuai cerita sepulang mengamen dari satu lampu merah ke lampu merah yang lain. Dari warung ke warung dan dari rumah ke rumah yang lain.
Aku tak kuasa berdiri dan terhuyung, mencoba menengok jam raksasa yang dipajang di sebuah dinding luar hotel hingga dapat kuketahui waktu menunjukkan pukul lima sore. Hari hampir gelap, biasanya aku dan kawan-kawanku berkumpul di suatu tempat untuk menuai cerita dan mengumpulkan receh penghasilan kami setiap harinya, tetapi mereka belum datang juga. Masih kutunggu hingga pukul delapan malam mereka belum muncul juga. Ada apakah gerangan sehingga mereka belum berkumpul sampai sekarang. Kutunggu hingga waktu menunjukkan pukul sembilan malam, kutatapi bangku kayu lapuk berwarna coklat tua yang pudar tempat kami melepas lelah dan membagi kisah.
Berkali-kali aku melongok ke kanan dan kiri jalan. Kulepaskan pandanganku sejauh mungkin hingga berasa mereka akan segera datang. Ketika mereka datang nanti, aku akan menceritakan dengan jelas dari setiap receh dan lembaran yang kudapat, juga lagu-lagu yang kunyanyikan dengan suara pas-pasan hingga orang-orang yang terasa enek segera memberiku uang agar aku lekas pergi atau malah mengacuhkanku begitu saja. Ada juga di antara mereka sepulang berbelanja ria di sebuah pusat perbelanjaan begengsi membawa beberapa tas belanja hingga tangan mereka tak mampu merogoh saku untuk menyisihkan sebagian yang paling kecil untuk aku dan teman-temanku. Kunanti dengan harapan besar tidak terjadi apa-apa terhadap mereka dan akan kami nikmati malam yang hangat meski tanpa orang tua dan saudara kandung.
Aku menunggu dengan pengertian yang besar kenapa mereka belum berkumpul sampai larut. Kutunggu dengan berbagai kemungkinan yang terjadi. Apakah mereka terlibat tawuran dengan para pelajar yang mengerti bahwa tawuran itu tidak baik dan sangat merugikan banyak pihak, atau mereka dihadang para preman yang biasa merampas hasil yang kami kumpulkan seharian. Ah.. ada apa hari ini, suasana sepertinya berbalik arah. Atau mereka digelandang ke kantor polisi karena kedapatan membawa benda tajam dan obat terlarang? Ah.. kawan-kawanku bersih, kami sudah sepakat untuk tidak berbuat demikian. Atau mereka digelandang oleh satuan polisi pamong praja karena kena razia di tempat-tempat bebas pengamen, atau karena keberadaan mereka mebuat risih dan mengotori pemandangan para borjuis.
Aku masih menunggu kawan-kawanku hingga larut. Tanpa sadar pulas bermimpi tentang kawan-kawanku yang sedang asyik bercanda kemudian aku terbangun, dan menemukan bangku-bangku yang masih sunyi.
Kutemukan semua yang ada di sekelilingku seperti ruh dan batu-batu putih berbagai ukuran dan bentuk, berlubang-lubang, seperti batu apung. Semuanya seperti masa lampau yang sangat lalu hingga asing di mata dan kupingku. Suara-suara makin lindap hingga tiada, lalu kurasakan tubuhku makin ringan dan kian samar hingga aku merasa tak dapat melihatnya lagi dalam waktu dekat. Tubuhku hilang dari bangku yang dipenuhi batu apung.
Aku berada di tempat yang dingin menyejukkan, dingin berangin sekejap-sekejap. Ini hutan, penuh pohon Pinus dan aku sendiri mencari entah siapa, atau mungkin mencari diriku sendiri, tubuhku yang kubawa seperti bukan milikku. Aku masuk ke sela-sela Pinus begitu saja tanpa tahu siapa dan apa yang mengendalikanku, melayang di pinggiran tebing-tebing curam. Sungguh menakutkan bila aku sampai terlepas ke dasarnya. Tapi aku masih saja melayang dan semakin tinggi menyentuh awan-awan yang begitu lembut menelusupi jemari.
Aku tinggi dan lebih jauh hingga tak dapat kutahu entah di sisi cakrawala yang mana. Di bawah sana, kulihat kota-kota sepi dan mati, semuanya batu apung, tanah, debu dan udara seperti abu. Tak ada bising kendaraan dan suara yang kudengar layaknya di kota. Menyusuri udara, dan wilayah yang mana ini, burung-burung menjelma patung, lautan berhenti berderak, ombak yang biasa menjulang pun tak kutemui batang hidungnya. Sungai-sungai berhenti mengalir, semua diam tak bergerak dan tak bersuara. Kutemui di padang bunga semuanya masih kuncup, hilang dari warna-warni dan semuanya pupus.
Adakah kutemui seseorang yang dapat menjelaskan padaku perihal semua ini? Ah.. tubuhku makin ringan melayang begitu saja semakin tak terkendali, tiba-tiba kumparan angin tinggi menjulang menyapu tubuh kapas ini, berputar-putar hingga tak kuasa melihat saking kencangnya. Angin itu menjatuhkanku ke suatu tempat, dan tak kurasa sakit lagi ketika jatuh karena tubuhku hanya kapas. Tempat itu tak asing lagi bagiku.
Kucoba mengingat-ingat dalam waktu yang lama, ternyata aku sedang berada di jembatan kotaku, tapi kendaraan-kendaraan berhenti membising, orang-orang terkumpul di suatu tempat, mereka sama seperti aku, kapas yang tadinya hilang dan melayang lalu terbawa angin yang mengamuk menyusuri cakrawala dan dijatuhkan di tempat ini.
Mereka tak bicara, juga tak mendengar perkataanku, tak dapat saling menyentuh, kami saling asing. Ah.. apa yang ku alami sebegitu jauh, dan sedang apa kami sebenarnya? Menunggukah? Lalu menunggu apa? Ribuan pertanyaan menggumpal di pikiranku saling berebut mencari jawaban dan semakin keras aku berpikir, semakin ringan pula tubuhku. Ia berasap, kepalanya retak lalu pelan-pelan meledak. Biasanya orang yang terkena duka selalu bersedih, tapi aku tak merasakan apa-apa. Aku tak merasa sedih atau sakit kehilangan kepalaku. Aku juga tak merasa senang. Rasaku hanya mengambang, tak bisa jatuh dan melayang. Tubuhku mengepulkan asap dan terbakar, aku tak bisa lagi merasakan panas. Kini aku kehilangan raga yang dulu membawaku dalam dunia nyata dan kini sudah tak bisa dikatakan nyata karena yang nyata ternyata sudah semu. Lalu bagaimana denganku sekarang ini dan apa yang harus kulakukan?
Langit menjelma malam yang sunyi menggetarkan serasa tak ada kehidupan lagi karena semua pekat. Lampu-lampu padam, rembulan dan bebintang sudah enggan menampakkan wujudnya walaupun untuk sekedar menerangi malam yang sangat ganjil ini. Ragaku menghilang dan aku masih punya keinginan, lalu bagaimana mewujudkannya? Perasaan takut, cemas, kebingungan yang tadinya menghilang tiba-tiba muncul. Lalu apa yang dapat ku lakukan untuk memenuhinya dalam gulita tanpa wadah tubuhku.
Ingatanku memulih, menampakkan sesuatu yang kuharapkan. Aku merindukan kawan-kawanku yang menghilang begitu saja dalam waktu yang cukup lama. Apakah mereka menghilang di tempat yang sama? Tak ada yang mendengar suara mereka dan aku. Apa mereka juga terseret arus melalui pintu-pintu hutan pinus? Apa mereka juga melayang dan terdampar di muka dataran yang aneh ini? Juga melewati cakrawala maha luas nan sepi diikuti kebingungan, ketakutan dan kecemasan yang meletup-letup hingga mereka meledak dan terbakar, lalu kehilangan tubuh. Oh.. alangkah sakitnya mereka.
Aku masih berdiri dan terus mencari, mencoba mendengar apa yang dapat kudengarkan, tapi sia-sia karena suara dan cahaya benar-benar telah lenyap. Percuma mengaduk-aduk pikiranku karena sudah tak bisa melakukan sesuatu dengan jiwa yang tanpa raga. Cemasku sebentar tumbuh dan lenyap di kepalaku. ah, bukan, aku lupa bahwa aku sudah tak berkepala, juga tak bertubuh. Tapi aku punya rasa yang dikembalikan setelah tubuhku tiada.
Malam mulai meninggalkan gelapnya, kini perlahan pagi, tapi bukan pagi. Matahari tak muncul, hanya terang saja tanpa kutahu cahaya dari mana ini. Suasana kembali seperti ketika aku terjatuh di area koma ini.
Serpihan tubuhku berkumpul membentuk wadah ragaku dan menyatu dengan jiwa yang hampir lenyap ini, pelan-pelan sekali seperti suatu ritual sunyi yang sangat sakral. Aku kembali dengan tubuh ringan seperti kapas tiba-tiba melayang melintasi gelap tanpa cahaya setitik pun. Tanpa perlawanan ke mana lagi tubuhku berpetualang tanpa kendaliku, melayangi gulita hingga jembatan kotaku yang sudah asing sesak manusia kapas sepertiku, tak bisa mendengar dan bicara kapada siapapun, tak ada pemimpin, tak ada yang dipimpin, tak ada yang sedih dan bahagia. Dari sana, kumparan angin yang menjulang kembali mengambilku, berputar dari poros ke poros dan mataku kembali terpejam lalu dalam sekejap angin itu menghilang tinggal tubuh kapas ini melayang lagi, tanpa kendali dan sangat pelan. Dan masih kulihat di bawah sana orang-orang belum juga pulih. Kulalui kota-kota. Makin abu dan tak ada perubahan yang kian membaik, semua bertambah buruk.
Pelan-pelan sekali aku merasa akan kembali ke hutan Pinus, menelusupi awan-awan lalu turun menyusur Pinus-pinus yang segar dan hijau, juga bunga-bunganya yang berserakan di lantai hutan menambah eloknya, serasa tak ingin kembali dan damai di hutan. Aku tersadar bahwa aku masih belum kembali. Tubuhku memberat seolah ada yang meraih dan mengisi tubuhku dengan suara-suara seperti nyanyian dan sebuah panggilan atau mantra-mantra yang diteriakkan tapi kedengarannya lebih anggun dan bersahaja, memanggil-manggilku dengan pengeras suara.
Serpihan tubuhku berkumpul membentuk wadah ragaku dan menyatu dengan jiwa yang hampir lenyap ini, pelan-pelan sekali seperti suatu ritual sunyi yang sangat sakral. Aku kembali dengan tubuh ringan seperti kapas tiba-tiba melayang melintasi gelap tanpa cahaya setitik pun. Tanpa perlawanan ke mana lagi tubuhku berpetualang tanpa kendaliku, melayangi gulita hingga jembatan kotaku yang sudah asing sesak manusia kapas sepertiku, tak bisa mendengar dan bicara kapada siapapun, tak ada pemimpin, tak ada yang dipimpin, tak ada yang sedih dan bahagia. Dari sana, kumparan angin yang menjulang kembali mengambilku, berputar dari poros ke poros dan mataku kembali terpejam lalu dalam sekejap angin itu menghilang tinggal tubuh kapas ini melayang lagi, tanpa kendali dan sangat pelan. Dan masih kulihat di bawah sana orang-orang belum juga pulih. Kulalui kota-kota. Makin abu dan tak ada perubahan yang kian membaik, semua bertambah buruk.
Pelan-pelan sekali aku merasa akan kembali ke hutan Pinus, menelusupi awan-awan lalu turun menyusur Pinus-pinus yang segar dan hijau, juga bunga-bunganya yang berserakan di lantai hutan menambah eloknya, serasa tak ingin kembali dan damai di hutan. Aku tersadar bahwa aku masih belum kembali. Tubuhku memberat seolah ada yang meraih dan mengisi tubuhku dengan suara-suara seperti nyanyian dan sebuah panggilan atau mantra-mantra yang diteriakkan tapi kedengarannya lebih anggun dan bersahaja, memanggil-manggilku dengan pengeras suara.
Ragaku sudah berkumpul dengan jiwa dan memberat. Pelan kuikuti arah suara, mataku terbuka. Samar kutatapi bangku masih kosong dan kawanku belum kembali juga. Aku tersadar bahwa yang memanggil-manggilku dengan pengeras suara adalah gema Adzan dari masjid besar di ujung jalan. Apakah semua yang kualami berhubungan dengan ketidaktahuanku tentang adanya Tuhan? Atau karena aku tak dikenalkan pada Tuhan oleh orang tuaku? Atau aku tak pernah menyebut nama Tuhan sekali pun dalam setiap episode hidupku?
No comments:
Post a Comment