October 17, 2009

Kebebasan dan Indonesia. Penuh Tanda Tanya.

Seorang teman pernah bercerita tentang seorang kenalannya yang berkewarganegaraan Singapura. Kabarnya ia lebih memilih tinggal di Indonesia ketimbang di negaranya. Kenapa? Bukankah di sana segala sesuatu serba tersedia. Masyarakatnya jauh lebih terpelajar. Kemudahan hidup dengan berbagai penunjang teknologi tingkat tinggi bisa ditemui dimana-mana. Pelayanan terhadap masyarakat pun jauh lebih berkualitas.

Ia hanya menjawab, karena di Indonesia saya bisa bebas melakukan apa saja. Tanpa adanya berbagai macam larangan yang berkaitan dengan disiplin hidup, dan tentunya tanpa semua denda berlipat yang mengikutinya.

Mendengar cerita ini muncul sebuah kegelian sekaligus keprihatinan. Bagaimanapun juga menjadi sebuah hal yang ironis, ada seseorang yang lebih “cinta” negara lain dengan alasan yang justru membuat negaranya memiliki kelebihan dibanding negara lain. Berbeda dengan alasan pemungutan pajak yang lebih rendah misalnya, yang mungkin relatif bisa diterima.

Keprihatinan yang muncul tentunya apabila kita mencoba merefleksikan alasan kebebasan hidup yang ia kemukakan dengan kondisi faktual di negara kita. Tanpa berusaha mengaitkannya dengan era reformasi, memang harus gue akui di negara ini kita benar-benar bisa hidup dengan “bebas” dalam arti yang sebebas-bebasnya.

Bukan pemandangan yang luar biasa apabila ada sebuah mobil mewah melintas di depan kita lalu menerbangkan “sesuatu” dari jendelanya yang sedikit terbuka ke jalan raya. Sesuatu itu bisa bermacam-macam. Bisa kulit rambutan, kulit duku, kertas tissue, puntung rokok, sampai gelas air mineral. Sebuah hal yang luar biasa apabila pemilik mobil mewah itu ternyata tidak terpelajar. Terlepas dari masalah kualitas otak, tampaknya bangsa Indonesia memang sudah sepakat menjadikan berpuluh ribu pulau wilayah kedaulatan bangsa sebagai tempat sampah terbesar di dunia. Silakan buang sampah di tempat yang anda suka.

Gue juga jadi ingat pemandangan beberapa minggu yang lalu. Ada seorang tukang ojek yang dengan santainya (maaf) pipis di peruntukan lahan hijau sekeliling rumah kost-an tempat gue tinggal. Tempat pipisnya pun tidak jauh dari pertigaan yang padat oleh lalu lintas. Padahal ia bisa memacu motornya sebentar ke pom bensinl atau masjid terdekat untuk mencari WC umum.

Sambil agak geli, sempat tergambar raut wajah bokap jaman gue SMP dulu saat di suatu pagi sambil bersungut-sungut ia mencoba membersihkan dan menghilangkan bau pesing pipis manusia yang menyengat di pagar depan rumah. Kebetulan rumah gue saat itu terletak berdekatan dengan tempat mangkal angkot yang selalu dipenuhi penumpang setiap malam.

Tampaknya ada lagi sebuah kesepakatan di antara warga bangsa. Indonesia juga adalah WC umum terbesar di dunia. Kebelet pipis? Take your spot anywhere. Sebuah pelayanan masyarakat tingkat tinggi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan asasi manusia untuk pipis. Gue yakin BAB sudah tercakup di dalamnya.

Selama kurang lebih setahun tinggal di dekat perempatan padat lalu lintas gue juga cukup mengamati bagaimana kecenderungan perilaku para pengendara. Yang paling gue ambil pelajaran adalah kapan waktu terbaik anda menyeberang jalan di perempatan. Secara normatif, ada korelasi yang cukup erat antara lampu merah dengan laju kendaraan. Lampu merah menyala, kendaraan berhenti, anda bisa menyeberang dengan tenang. Bahkan tanpa harus toleh kiri-kanan.

Faktanya tidak. Lampu merah menyala ternyata tidak lantas membuat orang menghentikan atau memperlambat laju kendaraan. Hampir di setiap saat lampu merah menyala banyak kendaraan justru berebut menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk secepatnya mencapai ruas jalan berikutnya. Alih-alih memperlambat dan kemudian menghentikan laju kendaraan, lampu merah menyala ternyata justru menjadi kode bagi mereka untuk menginjak gas kencang-kencang.

Hanya ada satu pilihan bagi para penyeberang. Benar-benar melihat sendiri dan memastikan bahwa semua kendaraan sudah berhenti di depan mata sebelum menyeberang. Itupun belum menjamin keamanan. Karena acapkali sebagian kendaraan yang ”belok kiri boleh langsung” melakukannya tanpa menyalakan lampu sen.

Terkadang gue membayangkan diri menjadi seorang Clark Kent dan bisa bebas menyeberang tanpa harus melakukan itu semua. Kalau kendaraan mereka ringsek menabrak gue toh bukan gue yang salah. Gue tinggal terbang ke perempatan lain buat iseng-iseng melakukan hal yang sama. Sayang gue bukan Clark Kent. Hmmm.

Sebelum berlarut-larut dengan berbagai contoh yang lain, satu hal yang harus digarisbawahi. Mereka melakukannya dengan bebas tanpa konsekuensi apapun. Keliatannya konsekuensi baru muncul apabila ada nyawa yang melayang di perempatan. Atau ada pejabat pemerintah yang terganggu karena rumahnya bau pesing. Atau anggota DPR yang merasa pusing dengan bau sampah yang menyengat di lingkungannya.

Jadi apa kesimpulannya. Kalau anda adalah seorang opportunis, silakan nikmati “kebebasan” yang anda peroleh di negara ini. Tetapi kalau anda seorang idealis, tampaknya anda harus sering-sering melakukan terapi anger management.




5 comments:

  1. Yang kayak gitu gak jadi masalah di negara ini, yang jadi masalah cuma kalo ada yang pake bikini. Wah itu terlalu bebas!

    Korupsi? Buang sampah sembarangan? pipis sembarangan? Nepotisme?

    Ah, itu kan....*batuk*

    ReplyDelete
  2. tanpa itu semua negara kita tidak akan kaya dengan keberagamannya. :)

    yang jadi pertanyaan selanjutnya.
    trus apa warga negara singapura benar-benar disiplin, ataukah mereka disiplin karena takut didenda.

    kalau negara singapura seluas negara Indonesia, mereka gak akan kalah jeleknya, malah bisa lebih jelek lagi.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  4. @momogi, so what's your point? mau bener2 disiplin ato cuma takut, yg penting negara mereka bersih. Dan kalau dikondisikan dengan tertib dalam jangka waktu lama, nanti akan malu klo ga tertib dan ada kesadaran untuk tertib.
    Anda ini aneh, koq bangga dengan ketidak disiplinan dan jelas2 tidak sopan, mengotori lingkungan. Keberagaman ga disusun dari hal2 seperti itu, keberagaman disusun dari kearifan lokal dalam berbudaya. Saya takut orang seperti anda ini yg membuat Indonesia seperti ini dan saya yakin anda akan mengkambing hitamkan orang lain walau mereka salah tp tetap menolak untuk melihat ke diri anda sendiri. Bukannya mencari hal yg positif dan berusaha mengadaptasi, tapi malah mencari2 alasan untuk menjustifikasi suatu kebodohan.

    ReplyDelete
  5. nice essay. Thumbs up!

    ReplyDelete