October 8, 2010

Abu ?



Aku terbangun dari tidur panjang setelah lelah berjalan seharian menyusuri debu dan asin keringat di jalan-jalan yang sesak uap dan bising kendaraan. Mencari remah roti juga sesuap sarapan dengan gitar tua peninggalan ayahku. Sudah seperti saudara sendiri, aku dan kawan-kawanku menuai cerita sepulang mengamen dari satu lampu merah ke lampu merah yang lain. Dari warung ke warung dan dari rumah ke rumah yang lain.


Aku tak kuasa berdiri dan terhuyung, mencoba menengok jam raksasa yang dipajang di sebuah dinding luar hotel hingga dapat kuketahui waktu menunjukkan pukul lima sore. Hari hampir gelap, biasanya aku dan kawan-kawanku berkumpul di suatu tempat untuk menuai cerita dan mengumpulkan receh penghasilan kami setiap harinya, tetapi mereka belum datang juga. Masih kutunggu hingga pukul delapan malam mereka belum muncul juga. Ada apakah gerangan sehingga mereka belum berkumpul sampai sekarang. Kutunggu hingga waktu menunjukkan pukul sembilan malam, kutatapi bangku kayu lapuk berwarna coklat tua yang pudar tempat kami melepas lelah dan membagi kisah.


Berkali-kali aku melongok ke kanan dan kiri jalan. Kulepaskan pandanganku sejauh mungkin hingga berasa mereka akan segera datang. Ketika mereka datang nanti, aku akan menceritakan dengan jelas dari setiap receh dan lembaran yang kudapat, juga lagu-lagu yang kunyanyikan dengan suara pas-pasan hingga orang-orang yang terasa enek segera memberiku uang agar aku lekas pergi atau malah mengacuhkanku begitu saja. Ada juga di antara mereka sepulang berbelanja ria di sebuah pusat perbelanjaan begengsi membawa beberapa tas belanja hingga tangan mereka tak mampu merogoh saku untuk menyisihkan sebagian yang paling kecil untuk aku dan teman-temanku. Kunanti dengan harapan besar tidak terjadi apa-apa terhadap mereka dan akan kami nikmati malam yang hangat meski tanpa orang tua dan saudara kandung.


Aku menunggu dengan pengertian yang besar kenapa mereka belum berkumpul sampai larut. Kutunggu dengan berbagai kemungkinan yang terjadi. Apakah mereka terlibat tawuran dengan para pelajar yang mengerti bahwa tawuran itu tidak baik dan sangat merugikan banyak pihak, atau mereka dihadang para preman yang biasa merampas hasil yang kami kumpulkan seharian. Ah.. ada apa hari ini, suasana sepertinya berbalik arah. Atau mereka digelandang ke kantor polisi karena kedapatan membawa benda tajam dan obat terlarang? Ah.. kawan-kawanku bersih, kami sudah sepakat untuk tidak berbuat demikian. Atau mereka digelandang oleh satuan polisi pamong praja karena kena razia di tempat-tempat bebas pengamen, atau karena keberadaan mereka mebuat risih dan mengotori pemandangan para borjuis.


Aku masih menunggu kawan-kawanku hingga larut. Tanpa sadar pulas bermimpi tentang kawan-kawanku yang sedang asyik bercanda kemudian aku terbangun, dan menemukan bangku-bangku yang masih sunyi.


Kutemukan semua yang ada di sekelilingku seperti ruh dan batu-batu putih berbagai ukuran dan bentuk, berlubang-lubang, seperti batu apung. Semuanya seperti masa lampau yang sangat lalu hingga asing di mata dan kupingku. Suara-suara makin lindap hingga tiada, lalu kurasakan tubuhku makin ringan dan kian samar hingga aku merasa tak dapat melihatnya lagi dalam waktu dekat. Tubuhku hilang dari bangku yang dipenuhi batu apung.


Aku berada di tempat yang dingin menyejukkan, dingin berangin sekejap-sekejap. Ini hutan, penuh pohon Pinus dan aku sendiri mencari entah siapa, atau mungkin mencari diriku sendiri, tubuhku yang kubawa seperti bukan milikku. Aku masuk ke sela-sela Pinus begitu saja tanpa tahu siapa dan apa yang mengendalikanku, melayang di pinggiran tebing-tebing curam. Sungguh menakutkan bila aku sampai terlepas ke dasarnya. Tapi aku masih saja melayang dan semakin tinggi menyentuh awan-awan yang begitu lembut menelusupi jemari.


Aku tinggi dan lebih jauh hingga tak dapat kutahu entah di sisi cakrawala yang mana. Di bawah sana, kulihat kota-kota sepi dan mati, semuanya batu apung, tanah, debu dan udara seperti abu. Tak ada bising kendaraan dan suara yang kudengar layaknya di kota. Menyusuri udara, dan wilayah yang mana ini, burung-burung menjelma patung, lautan berhenti berderak, ombak yang biasa menjulang pun tak kutemui batang hidungnya. Sungai-sungai berhenti mengalir, semua diam tak bergerak dan tak bersuara. Kutemui di padang bunga semuanya masih kuncup, hilang dari warna-warni dan semuanya pupus.


Adakah kutemui seseorang yang dapat menjelaskan padaku perihal semua ini? Ah.. tubuhku makin ringan melayang begitu saja semakin tak terkendali, tiba-tiba kumparan angin tinggi menjulang menyapu tubuh kapas ini, berputar-putar hingga tak kuasa melihat saking kencangnya. Angin itu menjatuhkanku ke suatu tempat, dan tak kurasa sakit lagi ketika jatuh karena tubuhku hanya kapas. Tempat itu tak asing lagi bagiku.


Kucoba mengingat-ingat dalam waktu yang lama, ternyata aku sedang berada di jembatan kotaku, tapi kendaraan-kendaraan berhenti membising, orang-orang terkumpul di suatu tempat, mereka sama seperti aku, kapas yang tadinya hilang dan melayang lalu terbawa angin yang mengamuk menyusuri cakrawala dan dijatuhkan di tempat ini.


Mereka tak bicara, juga tak mendengar perkataanku, tak dapat saling menyentuh, kami saling asing. Ah.. apa yang ku alami sebegitu jauh, dan sedang apa kami sebenarnya? Menunggukah? Lalu menunggu apa? Ribuan pertanyaan menggumpal di pikiranku saling berebut mencari jawaban dan semakin keras aku berpikir, semakin ringan pula tubuhku. Ia berasap, kepalanya retak lalu pelan-pelan meledak. Biasanya orang yang terkena duka selalu bersedih, tapi aku tak merasakan apa-apa. Aku tak merasa sedih atau sakit kehilangan kepalaku. Aku juga tak merasa senang. Rasaku hanya mengambang, tak bisa jatuh dan melayang. Tubuhku mengepulkan asap dan terbakar, aku tak bisa lagi merasakan panas. Kini aku kehilangan raga yang dulu membawaku dalam dunia nyata dan kini sudah tak bisa dikatakan nyata karena yang nyata ternyata sudah semu. Lalu bagaimana denganku sekarang ini dan apa yang harus kulakukan?


Langit menjelma malam yang sunyi menggetarkan serasa tak ada kehidupan lagi karena semua pekat. Lampu-lampu padam, rembulan dan bebintang sudah enggan menampakkan wujudnya walaupun untuk sekedar menerangi malam yang sangat ganjil ini. Ragaku menghilang dan aku masih punya keinginan, lalu bagaimana mewujudkannya? Perasaan takut, cemas, kebingungan yang tadinya menghilang tiba-tiba muncul. Lalu apa yang dapat ku lakukan untuk memenuhinya dalam gulita tanpa wadah tubuhku.


Ingatanku memulih, menampakkan sesuatu yang kuharapkan. Aku merindukan kawan-kawanku yang menghilang begitu saja dalam waktu yang cukup lama. Apakah mereka menghilang di tempat yang sama? Tak ada yang mendengar suara mereka dan aku. Apa mereka juga terseret arus melalui pintu-pintu hutan pinus? Apa mereka juga melayang dan terdampar di muka dataran yang aneh ini? Juga melewati cakrawala maha luas nan sepi diikuti kebingungan, ketakutan dan kecemasan yang meletup-letup hingga mereka meledak dan terbakar, lalu kehilangan tubuh. Oh.. alangkah sakitnya mereka.


Aku masih berdiri dan terus mencari, mencoba mendengar apa yang dapat kudengarkan, tapi sia-sia karena suara dan cahaya benar-benar telah lenyap. Percuma mengaduk-aduk pikiranku karena sudah tak bisa melakukan sesuatu dengan jiwa yang tanpa raga. Cemasku sebentar tumbuh dan lenyap di kepalaku. ah, bukan, aku lupa bahwa aku sudah tak berkepala, juga tak bertubuh. Tapi aku punya rasa yang dikembalikan setelah tubuhku tiada.

Malam mulai meninggalkan gelapnya, kini perlahan pagi, tapi bukan pagi. Matahari tak muncul, hanya terang saja tanpa kutahu cahaya dari mana ini. Suasana kembali seperti ketika aku terjatuh di area koma ini.


Serpihan tubuhku berkumpul membentuk wadah ragaku dan menyatu dengan jiwa yang hampir lenyap ini, pelan-pelan sekali seperti suatu ritual sunyi yang sangat sakral. Aku kembali dengan tubuh ringan seperti kapas tiba-tiba melayang melintasi gelap tanpa cahaya setitik pun. Tanpa perlawanan ke mana lagi tubuhku berpetualang tanpa kendaliku, melayangi gulita hingga jembatan kotaku yang sudah asing sesak manusia kapas sepertiku, tak bisa mendengar dan bicara kapada siapapun, tak ada pemimpin, tak ada yang dipimpin, tak ada yang sedih dan bahagia. Dari sana, kumparan angin yang menjulang kembali mengambilku, berputar dari poros ke poros dan mataku kembali terpejam lalu dalam sekejap angin itu menghilang tinggal tubuh kapas ini melayang lagi, tanpa kendali dan sangat pelan. Dan masih kulihat di bawah sana orang-orang belum juga pulih. Kulalui kota-kota. Makin abu dan tak ada perubahan yang kian membaik, semua bertambah buruk.


Pelan-pelan sekali aku merasa akan kembali ke hutan Pinus, menelusupi awan-awan lalu turun menyusur Pinus-pinus yang segar dan hijau, juga bunga-bunganya yang berserakan di lantai hutan menambah eloknya, serasa tak ingin kembali dan damai di hutan. Aku tersadar bahwa aku masih belum kembali. Tubuhku memberat seolah ada yang meraih dan mengisi tubuhku dengan suara-suara seperti nyanyian dan sebuah panggilan atau mantra-mantra yang diteriakkan tapi kedengarannya lebih anggun dan bersahaja, memanggil-manggilku dengan pengeras suara.
Ragaku sudah berkumpul dengan jiwa dan memberat. Pelan kuikuti arah suara, mataku terbuka. Samar kutatapi bangku masih kosong dan kawanku belum kembali juga. Aku tersadar bahwa yang memanggil-manggilku dengan pengeras suara adalah gema Adzan dari masjid besar di ujung jalan. Apakah semua yang kualami berhubungan dengan ketidaktahuanku tentang adanya Tuhan? Atau karena aku tak dikenalkan pada Tuhan oleh orang tuaku? Atau aku tak pernah menyebut nama Tuhan sekali pun dalam setiap episode hidupku?



October 7, 2010

Treat Me As One

I am a hotel. A holiday-inn,
or something like that.
You can rest here, get a good nights sleep.
There are weekly and monthly rates.
You can treat me like your temporary home.
Unpack your suitcases and life into my empty
drawers and closets.
You can swim in my pools or get fat off the
bacon, sausages, eggs, at continental breakfast.
Do not be surprised when I am already missing you
before you even start packing your bags.
With check out at noon
I know you will be gone soon.



July 15, 2010

Dear You

My hands have been tied around my back for quite some time. My mouth is dry and when I woke up this morning you were the only thing I could see because it was pouring again. This isn't an apology.

I may not know your name but sometimes there is no clouds and I believe in sunshine and a little wind child blows me like some sweet song you sung cause some people know how to sing.

I am the most amazing human being that you will ever meet. I do not care anymore. I was once capable of anything, I mean I still am. And where is everyone like you, I have not found anything close to a partner. I'm sorry I ever let you know.

This was bullshit. This is bullshit. Maybe I should just be quiet. But I've got so much to tell you. Like how this is the only place I feel alright. Yes, right here. Where I can tell you about everyone you ever loved by just a glimpse. I will tell you everything. There is no place I would rather be.

I did not mean to start things out this way. Maybe it's all the clouds. I lied, there are no clouds. One day we will rise up and let the ocean wash away all the memory. I was in love once, and I will not be quiet now.

I meant to start all the things differently. My words are all dusty and a bad cough. I would like to be on the back of that motorcycle again. Feel the winds that blowing through our ears. And I am not sorry anymore.


-b-


May 28, 2010

Lelaki Sendok Karat

Laki-laki muda itu merapatkan telinganya pada dinding. Penasaran. Tenggelam dalam hasrat ingin tahunya. Tembok dingin itu nampaknya mengeluarkan suara. Walaupun samar, ia sangat yakin kalau ada sesuatu di balik dinding kamar kontrakannya itu. Sesuatu yang menggerakkan imajinya untuk terus mendengar lebih dalam lagi. Ia semakin merapatkan telinganya pada dinding kamar yang berukuran tidak lebih dari 9 meter persegi itu.
“Suara gemerincing. Ya, aku mendengarnya. Suara apakah itu ?” batinnya.
Kemudian ia memindai seluruh ruangan, mencari apa saja yang dapat membantunya untuk mengeluarkan apapun yang ada di balik tembok dingin bercat putih itu.
“Ah, ini mungkin bias membantu!” ujarnya sambil menghampiri sesuatu di atas meja kecil di pojok kamar.
Diambilnya sendok makan logam yang biasa digunakannya untuk makan nasi bungkus. Bersemangat, ia mengacung-acungakan sendok makan itu dan mulai menggaruk dinding sedikit demi sedikit. Lama ia menggaruk, keringatnya mulai bercucuran, mengalir dari atas dahi hingga ujung kaki. Membasahi kaus katun abu-abunya yang sudah terlihat usang. Namun peluh dan keringat sebanyak apapun tidak repot-repot menggubris konsentrasinya. Mata dan hatinya sudah tertuju pada gemerincing dibalik dinding itu. Sesekali dia berhenti menggaruk dan kembali menempelkan telinganya pada dinding, kalau-kalau suara itu hilang dan pekerjaan menggaruknya menjadi sia-sia. Tetapi, suara gemerincing itu semakin keras memukul gendang telinganya. Ia semakin yakin kalau ada sesuatu di balik dinding.
Ia menyeka keringatnya dan melihat dengan puas hasil pekerjaannya. Sudah ada lubang sebesar dua senti pada dinding. Dengan telunjuknya ia meraba hasil pekerjaannya, sensor motoriknya dapat merasakan kasarnya permukaan bata dan semen pada lubang hasil karyanya. Tetapi, lubang itu belum terbuka seluruhnya, benda gemerincing itu juga belum muncul. Belum selesai, pikirnya.
Mengganti peluh yang terbuang dari tubuhnya, ia menenggak air dari teko yang ada di atas meja yang sama dengan tempat diletakkannya sendok logam itu. Kembali ia memandangi lubang pada dinding kamarnya. Ia hampir tak peduli kalau itu bukan kamarnya sendiri. Ia hanya peduli dengan suara gemerincing di balik temboknya. Menurutnya, jika ibu galak pemilik kontrakan ngamuk melihat tembok kamar kontrakannya yang berlubang, itu urusan belakangan, asal benda gemerincing itu bisa ditemukan.
Makin lama ia menggaruk, makin keras terdengar suara gemerincing itu. Begitulah, makin semangat pula ia menggerakkan sendoknya menggerus semen dan batu bata. Mungkin memang awalnya sulit untuk menggerus tembok bata, tetapi kini dengan bulatan tekadnya, semua itu jadi terasa lebih mudah untuknya.
“Klang !”
Akhirnya, sungguh tak dapat dipercaya, sesuatu terjatuh bergemerincing menuju lantai dari dalam lubang. Matanya buas mencari benda bergemerincing itu dan jantungnya berdebar keras saat ia menyentuh benda itu. Sesuatu itu sungguh berkilauan dan menyilaukan. Dia mengamati benda itu dengan cermat dan akhirnya berkesimpulan, itu adalah sekeping koin emas!
Begitu girang ia menimang koin emasnya. Itulah tiketnya untuk meninggalkan kemiskinan selama-lamanya. Diciuminya koin emas itu dan kemudian kembali menatap lubang pada tembok bata lapuk itu. Pasti masih banyak benda seperti ini dibalik tembok itu, begitu pikirnya. Begitulah, akhirnya dia kembali menggaruk tembok dengan sendoknya, dan seperti perkiraannya, makin banyak koin emas bergemerincing jatuh di lantai.
***
“Dia pasien baru ya?” tanya seorang dokter wanita paruh baya berjas putih pada perawat di depannya. Perawat itu hanya menjawab dengan singkat dan memberikan map berisi keterangan pasien dan kertas-kertas penting lainnya.
Dokter itu membuka map yang dipegangnya dan mempelajari keadaan orang yang berada di hadapannya. Sesekali dia mendongakkan kepalanya untuk mencocokkan keadaan pasien dengan hasil analisa pada kertas. Dokter itu memandang dingin pada pasien di depannya yang sedang menggaruk dinding dengan sendok karatan sambil sesekali menempelkan telinganya pada tembok yang dingin. Sang dokter hanya menghela nafas dan menutup mapnya, menyesalkan penderitaan hidup yang dihadapi pasien di depannya, kemudian berlalu meninggalkan pasien baru itu dengan sendok karatannya.
***
Ia pulang dari bekerja, kelelahan dan perut keroncongan, menuju kamar kontrakannya yang sempit, pengap dan bau. Setiap hari, setiap kali dia pulang dari bekerja di pabrik, selalu begitu keadaannya. Kelelahan dan perut keroncongan. Tetapi, gajinya tak pernah naik. Sebaliknya, harga kebutuhan pokok terus naik. Ia semakin tercekik, semakin putus asa.
Laki-laki itu merebahkan diri di atas kasur, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan putus asa. Ia mencoba memejamkan matanya, mencoba melupakan seluruh masalah ekonomi yang menghimpit dirinya. Saat itulah, samar-samar dia mendengar sesuatu dari balik tembok. Sesuatu yang bergemerincing. Sesuatu yang menggiurkan. Kemudian, ia merapatkan telinganya pada dinding.


January 22, 2010

Jangan


Aku ingin tidur.
Jangan bangunkan aku,
Jangan minta aku untuk terjaga ketika hanya 'terlelap'-lah yang aku inginkan...