December 11, 2009

Saat Hati Terbelenggu Dasi

Titik-titik hitam bersayap melambai-lambai kesana-kemari, mereka selalu optimis untuk bermigrasi dengan cuat-cuit suara bergerombol serupa huruf V, terlihat hampir tertangkap oleh gumpalan-gumpalan air bergelombang semakin meninggi bersetubuh bersama sayup-sayup angin sepoi, bergemuruh kian berlari mencipta buih-buih semakin mendekat, menelan kilau-kilau pasir di bibir.

“Maksudmu, menyindir, layaknya orang tak berpendirian maju mundur tak jelas apa maumu?”
Sang ombak hanya mundur ketika sosok lelaki duduk menempel menguasai batu-batu karang hitam yang kokoh namun rapuh di antara batu alam.

”Sekarang kau mundur. Apakah kau tak sadar bahwa kemunduranmu adalah persiapanmu untuk berlari kemari. ”

Sekarang buih-buih itu berlari menantang darat hampir menghujam tak sampai hati, hingga hanya menjilat kaki hampir busuk dalam keraguan.

“Lalu, tak sempatkah kau berpikir, wahai Penari-penari lautan, aku berada di depan orang–orang yang berpangku terhadapku, terhadap orang-orang yang berharap di pundakku. Namun, aku adalah orang yang berposisi di belakang orang-orang yang menentukan mereka yang bersandar dalam pundak lemahku. Aku.. aku ragu.” Berlutut ia di bibir pantai mengecap pasir basah dengan lutut beratnya, meremas gundukan pasir berbuih dengan kepalan berkecamuk, dalam hati yang gelisah.

“Sekarang kenapa kau ragu, untuk orang yang kau lindungi beserta cintamu, kenapa tak kau korbankan saja dirimu untuk mereka yang kau nafkahi, hanya satu nol saja semua selesai!” Kini buih itu menjawab dengan gemuruhnya yang tajam.

“Untuk jawaban seorang penari lautan tak ragu lagi karena kau takkan merasakan sedapnya sebuah konsekuensi, kau tidak akan tahu semua keluargaku akan kehilangan hidung, ketika aku bersemayam dalam bui, kepentingan orang-orang tertindas akan semakin kutindas, dan negara yang bejad ini kian punah tertindih perut yang kehilangan afektifitasnya. Apakah kau tidak berpikir, wahai Penjilat-penjilat pasir yang hitam!”

“Semakin kau libatkan humanismemu, semakin jauh kau dengan kegelimpangan, wahai Pecundang!”

“Aku, aku bukanlah penjilat pasir karena kilaunya. Aku takkan berlari ketika kulihat kilau-kilau dari kejuhan yang sesungguhnya itu adalah pasir hitam yang akan membuatku kahabisan buih. Aku bukanlah kau ombak, karena pasir takkan berkilau-kilau jika warnanya menunjukan keputihan, dan semua orang pun lebih memburu pasir nan putih bersih, tidaklah sama dengan kau, Gelombang jahanam. Kau hanya makhluk yang tertipu dengan kilau-kilau bentukan mentari. Kilau-kilau yang akan hilang sesampainya engkau untuk menelannya bulat-bulat.”

Sebuah batu karang kecil melambung terbang mengejar gelombang ombak yang semakin mundur, memercik di kejauhan yang semakin sunyi di tengah kegemuruhan gelombang-gelombng pasang. Kini seketika gelombang pasang semakin meninggi memburu dengan lantang menelan lelaki gundah, menggulung-gulung membasahi bara-bara yang berkecamuk dalam hati. Beberapa teguk sempat menghentikan nafas sosok itu, ia basah dengan kegeraman.

“Kau marah, Ombak?”

“Aku benci dengan keraguan, dengan orang yang tak bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Jika kau takut dengan terali-terali besi, ceritakan saja pada pamong-pamong rakyat, para pelindung-pelndung berseragam yang buncit itu.”

Ombak hitam semakin meninggi menabirkan sinar mentari, membayangi sang karya.

“Apakah kau gila? Itu sama saja dengan aku menenggak racun yang akan membunuhku, yang akan menghancurkan keluargaku sendiri.”

“Lalu, di manakah jiwa juangmu itu, jiwa yang selalu mencintai tanah airnya, tanpa peduli keluarga pribadi, tanpa melihat ke belakang untuk menyerang ke depan, apakah semua itu sudah susut hanya karena angka nol yang berlubang?”

“Akh, omong kosong dengan perjuangan. Toh, mereka yang mengkhianati negeri, tetap dipuja negeri. Toh, mereka yang merampas perut rakyat tetap dihormati rakyat. Lantas apakah ini yang disebut dengan mengkhianati? Jika yang disakiti masih mau membanggakan yang telah mendzaliminya, masih mau mendukung di kala meminta?”

Dengan suara lantang, pria busuk itu semakin membusungkan dirinya. Ia hampir kalah dalam kerapuhannya dengan penuh tekanan yang menyesakkan. Ia tertawa dalam kesedihan, terbahak-bahak setelah kalah bagaikan keledai yang mengumpankan dirinya dalam mulut harimau kelaparan. Kini sebuah gelombang yang semakin tinggi, hitam, kelabu menenggelamkan bertubi-tubi, menegukkan beberapa volume asin pekat.

“Hai Pecundang sejati, kau takkan merasakan kenikmatan, kau takkan merasakan kebahagiaan meskipun kau dalam kegelimpangan, kegelimpangan dari hal menjijikan, meskipun hanya satu null kau tambahkan dalam worksheetmu, namun berjuta-juta balasan akan kau terima nantinya, dari-Nya. Sebanyak orang-orang yang telah kau minum keringatnya, yang telah kau cekik perutnya, tahukah kau itu!”

“Diam kau, Setan laut. Apakah kau mau di belakangku? Apakah kau sudi memberiku sedikit kekuatan jika aku menantang eksekutif itu? Pastilah tidak! Kau hanya akan tertawa ketika aku menjadi pahlawan kesiangan di antara gundukan-gundukan perut buncit, dan kau pun terus berlari pergi bersembunyi meninggalkanku sendiri.”

“Dasar Manusia bodoh, lupakah kau dengan Penciptamu? Lalaikah kau dengan kekuasaan-Nya? Bersimpuhlah di hadapan-Nya maka kau akan menemukan pintu terang yang kau bingungkan itu. Memohonlah untuk kebenaran, jika perlu menangislah kalau kau merasa lemah.”

Kini, ombak kelam itu pergi, pantai kembali tenang dengan kecerahan yang biru. Di kejauhan kembali gelombang seraya berkata, “Jika kau yakin dengan pertolongan-Nya, pastilah selamat kau dengan penuh kedamaian.”

Kaki-kaki lemah itu kini berhenti membusuk, berganti wangi kian semerbak berdifusi dalam pelarian. Tangannya telah bebas dari borgol-borgol kedustaan sebuah kultur dalam negeri nan elok lagi kaya ini, ironis.

”Bapak polisi, aku akui aku telah mendapatkan mandat langsung dari manajer keuangan di dalam instansi yang di sana aku menyambung hidup, untuk menambahkan satu nol dalam laporan keuanganku. Niat itu aku urungkan. Bukan apa-apa, aku hanya tidak bisa membutakan mataku terhadap orang-orang di luar sana dan, sesungguhnya aku takut dengan Tuhanku, sekarang terserah Bapak selanjutnya.”


December 5, 2009

Kisah Seorang Schizophrenic


Di sudut ruangan itu, dengan sebatang Marlboro terakhir di sisa hari ini, dia coba membunuh tangisnya sekali lagi dengan kepulan asap rokok. Kepulan-kepulan asap yang membuat ingatannya mengembara. Kenangan masa kanak yang saling bertubrukan, berhamburan keluar dari memori otaknya. Juga saat-saat terakhir bersama sosok ayah yang tak pernah sempat bisa membahagiakannya.

”Ayah aku rindu,” keluhnya, tertahan pun hanya dalam hati.


Tanah airku IndonesiaNegeri elok amat ku cintaTanah tumpah darahku yang mulyaYang kupuja s’panjang masa

Lamat didengarnya suara nyanyian Rayuan Pulau Kelapa dari tape di dalam ruangan kerja staff administrasi. Dia ingat lagu itu adalah ciptaan Ismail Marzuki. Pencipta lagu yang namanya diabadikan pada taman ini.

Di sini, di antara dinding yang putih membisu, dia ikut bernyanyi. Di antara rintihan irama luka atau nyanyian suka yang kadang terasa sangat dipaksakan. Suaranya mengiringi gesekan pelnya yang seakan menyayat kelu lantai yang sudah muak karena terinjak-injak bertahun-tahun lamanya.


Tanah airku aman dan makmurPulau kelapa yang amat suburPulau melati pujaan bangsa sejak dulu kala

Marmer wastafel yang angkuh itu, yang selalu menuntutnya untuk mengeringkannya. Cermin gagu nan sombong yang selalu merayunya untuk mencemerlangkannya, karena seribu kepalsuan dan kepongahan selalu dan selalu saja memburamkannya. Bau Clorox dari sudut celah-celah dudukan WC yang baru disikatnya itu membawanya semakin larut ke dalam pintu rindu akan sosok seorang ayah yang tiada.

”Seandainya saja aku tidak dikalahkan kepapaan. Seandainya saja hidup itu sangatlah mudah seperti mereka. Seandainya saja… Ya, seandainya saja,” gumamnya lesu.


Melambai-lambai, nyiur di pantaiBerbisik-bisik, Raja K’lana

”Ayah, aku ingin memeluk bahumu sekali lagi dan akan kutumpahkan seluruh cerita hari ini. Betapa lelahnya aku menghadapi hidup,” keluhnya lagi. Dengan enggan dia bangkit dan berjalan gontai. Pulang ke rumahnya. Saat itu jam menunjukkan pukul 21.00 WIB bersamaan dengan berakhirnya lagu Rayuan Pulau Kelapa.


Memuja pulau, yang indah permaiTanah airku……Indonesia.

Kamar temaram. Dia masih merasa canggung menatap wajah dirinya sendiri dalam sosok yang berbeda. Seperti sedang bercermin tetapi bayangan di depannya bergerak melewati bingkai cermin dan mencipta menjadi sosok serupa dirinya sendiri.

“Apa yang salah dengan hidupku? Kenapa aku tidak pernah merasa hidup?” tanyanya kemudian. Sosok itu tersenyum.

“Coba mendekatlah kemari. Dan lihatlah wajahku.”

Dia mendekat. Mengamati wajah dari sosok yang ada di depannya dalam cahaya kamar yang temaram. Dia melihat wajahnya sendiri, hanya saja dia merasa ada sesuatu yang ganjil disana.

“Luka itu?” bisiknya pelan.

“Iya, luka itu tak ada lagi di wajahmu. Dulu luka itu adalah kesalahanmu yang tak pernah kau mengerti,“ kata sosok itu kemudian.

Dia memegang bekas luka di pelipis kirinya. Hampir menyatu dengan kulit dahi. Padahal dulu begitu menganga. Sebuah luka yang tak akan pernah dia lupakan. Luka yang terjadi di saat dia masih berusia 19 tahun. Tepat ketika dia mulai tergila-gila dengan buku-buku Filsafat dan Novel Sastra yang dibacanya di gerai buku di TIM. Freud, Nietzsche, Kant, Voltaire, Plato, dan Tolstoy adalah filsuf idola sekaligus pahlawan baru bagi dunianya. Saat itu semua yang ada menjadi abstrak, termasuk dunia dan apa yang dia rasakan.

Dia dibesarkan sebagai anak tunggal, dalam kondisi keluarga yang membuatnya marah sekaligus menangis. Kemiskinan yang sangat. Hingga untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari ibunya harus berjualan keliling termasuk mangkal di depan TIM. Namun ibunya selalu mengajarkan padanya tentang kebahagiaan sebuah keluarga.

Ibunya adalah sosok seorang wanita pendiam, selalu menutupi kepedihan dalam senyuman agar terlihat bahagia di depan anaknya. Tetapi pada saat yang sama dia sering mendapati ibunya duduk sendiri di halaman belakang dalam gelap malam dan sembab air mata. Dia pikir karena ibunya lelah saja, setelah berjualan seharian dan setiap hari.

Sedangkan sang ayah??!! Tak banyak yang dia ingat tentangnya. Yang dia tahu, Ayah adalah sosok yang tak pernah dia mengerti kehadirannya. Hingga sang Ayah pulalah yang membuatnya terpuruk. Membuat kandas mimpi-mimpinya dulu dan sekarang berakhir sebagai cleaning service di TIM. Dia menggeram. Marah. Dia ingat malam itu lagi….

Sebuah malam ketika sang Ayah pulang larut malam dengan mata merah darah penuh kemarahan. Dan malam itu tanpa alasan yang jelas, sang Ayah memukul dia hingga tersungkur di sudut ruangan. Cincin besi itu merobek pelipis matanya hingga darah mengucur di lantai ruangan hingga dia pingsan. Sejak saat itu, sosok sang Ayah adalah sosok yang sangat menakutkan baginya. Hampir setiap hari sang Ayah selalu mempunyai alasan untuk memukulinya dengan tangan atau mencambuknya dengan sabuk kulitnya. Atau mengurungnya dalam kamar mandi sepanjang malam tanpa cahaya.

Sang Ibu hanya bisa diam dalam tangis, dan baru menghampirinya ketika dia sudah mulai tersungkur di lantai nyaris pingsan. Dalam sisa kesadarannya, dia hanya bisa melihat ibunya berkata sesuatu, tapi dia tak bisa lagi mendengarnya. Saat seperti itu, semua menjadi sunyi. Pendar cahaya hanya bergerak-gerak tanpa suara. Dunia menjadi bisu…..

Luka di pelipisnya mendadak berdenyut. Sakit sekali. Emosi dan kemarahannya pada masa silam, kembali memompa aliran darah berlebih ke otak, sehingga menghasilkan impuls luar biasa sakit pada jaring-jaring syarafnya. Dia terkulai di lantai.

“Tapi ini semua karena kesalahan ayahku!!! Dia yang selalu menghajarku hingga aku pingsan! Dia yang tak pernah mau mengerti anaknya sendiri! Dia yang merobek pelipisku, juga semua bekas cambukan sabuk kulitnya di tubuhku!! Semua karena ayahku hingga akhirnya aku memutuskan untuk lari pada minuman keras!! Kenapa aku yang disalahkan??!!”

Sosok itu menatapnya dalam-dalam.

“Luka itu bukan dibuat oleh ayahmu,” kata sosok itu pelan.

“M….m….maksudmu?”

“Iya. Bukan ayahmu yang membuat luka di wajahmu dan semua bekas cambukan di tubuhmu.”

“Lalu siapa yang membuat semua luka ini?” Sosok itu mendekat.

“Dirimu sendiri,” jawab sosok itu pelan.

Dia merasa limbung dengan jawaban sosok yang ada di depannya. Bagaimana mungkin?

“TIDAK!!! TIDAK MUNGKIIINN!!! Ayahkulah yang setiap hari pulang larut malam dengan mata merah dan menyeretku turun dari tempat tidur. Dia yang memukuliku dan menghajarku hingga aku nyaris pingsan!! Ayahku yang mengurungku sepanjang malam di dalam dingin kamar mandi gelap tanpa cahaya. Ayahku yang melakukan itu semua!! Ayahku yang……..aarrgghh!!”

“HENTIKAN!!!” Sosok itu memegang lengannya.

“SADARLAH!! AYAHMU TAK PERNAH ADA DI DALAM KELUARGAMU! AYAHMU TAK PERNAH SEKALIPUN BERTEMU DENGANMU! DI RUMAH ITU HANYA ADA KAU DAN IBUMU!DAN TIDAK PERNAH ADA SOSOK SEORANG AYAH PUN DI SANA!TIDAK PERNAH ADA!!”

Dia terkulai lemas mendengar jawaban itu. Seandainya jawaban itu bukan dari sosok dirinya sendiri, mungkin dia tidak akan percaya. Semua kata tercekat di tenggorokan, pandangannya nanar, dia jatuh terduduk.

Sosok itu mendekat dan duduk di sampingnya. Sejenak hening menciptakan jarak di antara mereka.

“Ayahmu telah meninggalkan ibumu saat kau masih dalam kandungan. Sejak kecil, hanya ibumu yang mengasuhmu sendiri dengan keringat dan darahnya. Tetapi keinginanmu tentang kehadiran figur ayah, menciptakan sebuah sosok seorang ayah dalam duniamu sendiri. Sosok ayah tempatmu bermanja dan menghabiskan waktu bermain di taman atau memancing di sungai seharian. Sejak kecil kau selalu mengajaknya bicara dan memintanya membacakan cerita sebelum tidur. Padahal di sana tidak ada siapa-siapa.”

”Ibu tahu itu semua, tetapi dia hanya bisa diam dan menangis melihat itu terjadi. Dia tidak ingin menyadarkanmu dan mengambil semua mimpi dan kebahagiaan yang kau rasakan bersama sosok seorang ayah di dalam duniamu. Dia tahu, dia tak bisa memenuhi figur orang tua sepenuhnya bagi dirimu,” sosok itu bercerita perlahan.

Matanya terasa panas, dan perlahan airmatanya meleleh. Dia teringat kembali wajah ibunya yang sembab karena air mata ketika tanpa sengaja dia memergokinya di halaman belakang. Jadi semua air mata itu karena dirinya?

“Sampai akhirnya ketika kau mulai dewasa, dan mulai banyak membaca dan berpikir, sosok ayah yang kau ciptakan itu ternyata tidak juga hilang karena tanpa kau sadari, kau telah merasa nyaman dengan dunia yang kau ciptakan sendiri. Sampai akhirnya sosok ayah itu menjelma menjadi alter ego-mu sendiri. Menjadi wujud dari kemarahan yang ada dalam dirimu. Sosok ayah yang telah memukul pelipismu, menghajarmu dan menguncimu dalam kamar mandi, adalah dirimu sendiri.” Sosok itu menghela nafas. Dia tahu ini akan menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk diterima.

“Luka di wajahmu itu adalah awal dari fase kemunculan alter ego-mu. Malam itu, tanpa sadar kaulah yang telah mengiris pelipismu sendiri dan membenturkan kepalamu hingga berdarah dan nyaris mati. Dirimu dalam ’sosok ayah’ mu yang kau ciptakan sendiri. Sejak saat itu hampir setiap malam kau melakukan hal yang sama. Ego-mu dalam sosok ayahmu yang memukulimu, mencambuk tubuhmu dengan sabuk kulitnya, dan mengurung dirimu sendiri dalam kamar mandi.”

”Ibumu tak bisa mencegah semua itu terjadi. Dia merasa semua ini adalah kesalahannya karena membiarkan sosok ayah itu tetap hidup dalam duniamu. Dia hanya bisa menangis, melihatmu menyiksa diri. Dia mengangkatmu ke tempat tidur ketika kau hampir pingsan. Membersihkan setiap darah di lantai kamar seakan tak terjadi apa-apa. Dia tak ingin membiarkanmu dirawat di rumah sakit jiwa karena dianggap schizophrenic oleh dokter.”

”Sampai akhirnya kau memutuskan lari pada minuman memabukan dengan alasan tidak tahan perlakuan ayahmu. Padahal kau bukan sedang berlari dari ayahmu, tetapi kau berlari dari dirimu sendiri. Dari alter ego-mu. Dan meninggalkan ibumu dan Tuhanmu!”

Waktu seakan berhenti untuk memberi ruang pada sketsa hidupnya yang satu persatu muncul kembali pada layar pikirannya. Perlahan sosok itu pun memudar dan berangsur hilang dalam gelap.

Dia jatuh tersungkur. Badannya lemas. Dia merasakan pusing yang teramat sangat. Ruangan gelap itu seakan berputar kencang mengelilinginya. Pikirannya kacau. Dia mulai menggumam, mulai meracau. Tak ada lagi batas nyata dan abstrak dalam dunianya. Semua berputar menjadi satu. Begitu cepat memutar……

Dan di tengah pusaran yang berputar, dia melihat sebuah wajah yang begitu damai. Penuh senyuman. Wajah yang tak asing lagi. Dia berteriak, sebelum akhirnya semua menjadi gelap kembali.
BRAKK!!!

Sebuah bunyi keras, membawa kesadarannya kembali. Bunyi pertama yang dia dengar setelah sekian lama dia tak sadarkan diri. Di susul cahaya terang yang perlahan merasuk ke dalam kamarnya. Dia tak bisa bergerak hanya bisa tergeletak, lemah.

Sayup terdengar suara langkah mendekat. Dia tak bisa melihat dengan jelas, kepalanya masih terasa pusing. Sebuah gerakan perlahan nampak samar di depannya. Pendar cahaya sedikit demi sedikit membentuk sebuah garis wajah yang sempurna. Wajah itu, wajah malaikat terindah yang pernah ada. Wajah Ibunya!!

Dirasakannya usapan lembut di rambutnya. Ibu begitu mengasihinya. Dia tersadar dari mimpi buruknya semalam. Ternyata bayang masa lalu masih menaunginya. Tapi tak urung dia mengucapkan ”Alhamdulillah”. Allah masih menyelamatkan nyawanya hingga hari ini dan memberinya kesempatan memperbaiki diri di jalan-Nya.

Kupu-kupu beterbangan di atas sekuntum bunga yang baru mekar. Diam tak bergerak, diamatinya kupu-kupu itu. Mengagumi keindahan warna kupu-kupu, kuning kehitaman. Keindahan bunga berwarna merah muda keunguan. Juga keindahan cerahnya matahari menyilaukan mata. Keindahan suasana hatinya pagi ini.

Ya, hatinya. Dia mencoba membuat suasana hatinya lebih indah pagi ini. Meski jauh di dalam sana, ada yang tetap mengiris, pedih. Sakit. Teramat sakit. Tapi apapun itu, dan bagaimana pun ia kini, Ayah tetap figur idola baginya. Meskipun mungkin sampai mati, dia tak akan pernah tahu, siapa dan bagaimana sosok ayahnya.


Melambai-lambai, nyiur di pantaiBerbisik-bisik, Raja K’lana

Lagu itu kembali terdengar, seperti biasa. Dan seperti biasanya dia pun melakukan aktivitasnya. Membersihkan pekarangan taman ini. Dan bila sore menjelang malam, dia beralih ke belakang. Membersihkan toilet. Begitulah hidupnya sekarang. Kehidupan yang telah dijalaninya hampir lima tahun ini.


December 3, 2009

Mereka Yang Paling Setia

Bagaimana bisa aku tidak mencintai batangan-batangan nikotin kalau hanya merekalah teman paling setia di dunia ini, yang menemaniku saat sedih, senang, tertawa, menangis, bernyanyi, berdansa, berteriak, marah, bahkan putus asa. Menemaniku sebelum makan, saat makan, sesudah makan, sebelum menutup mata mengakhiri hari bahkan kembali membuka mata mengawali hari. Dengan setia menemaniku di atas kloset tanpa cerewet, diam ikut merenung bahkan turut menyumbang inspirasi tersembunyi dalam bilik sepi. 
Adakah yang lebih setia dari itu?

Bagaimana bisa aku menyangkal rasa setia mereka dan tidak turut berpartisipasi dalam mentolerasi kesetiaan bersama, kalau hanya mereka saja yang tak pernah mengeluh dengan segala ketidakteraturanku dalam hidup dan menjadi saksi bisu setiap detil rasaku, yang bahkan tak pernah ada yang tahu persis seperti apa yang mereka tahu. Batangan putih yang silih berganti dihisap, hilang tenggelam dalam asap, tak pernah sedikitpun marah dan terluka saat dijadikan pelarian tumpahan kekecewaan namun kemudian rela ditinggalkan dengan sia-sia dalam asbak, bergumul dalam sampah, dan dibuang entah kemana.

Malam ini, batangan putih itu juga yang menjadi saksi di saat semua sahabat lari, hilang, pergi, meninggalkan aku sebatang kara dengan segala permasalahan pribadi yang mereka bilang aku yang mulai sendiri. Di kamar aku membodoh. Dengan underwear berwarna merah darah, dengan tanktop berwarna hitam, gelap, pekat, suram, sesuram hatiku. Menatap cermin besar tertantang di dinding sisi kiri tempat tidurku. Duduk dengan kaki bertopang. Sikap menantang. Aku mencumbu batangan itu dengan penuh haru, seakan ingin menumpahkan unek-unekku, segala dukaku, kecewaku, kekesalanku, amarahku, lukaku, juga kebodohanku. Batangan nikotin menemaniku. Mereka setia di sini. Berusaha menambal luka hatiku dengan menyetubuhi paru-paru pemberi energi penenang, yang entah bagaimana prosesnya memang membuat tenang. Mereka menemaniku menari bersama iringan musik Kitaro-Matsuri. Dentangan kakiku mengikuti genderang instrumen Jepang. Rambutku tersibak. Kakiku menghentak. Tubuhku hanyut dalam instrumen. Dalam asap. Dalam parau hatiku yang meringis. Dalam tangis yang tak ingin aku akui. Dalam musik yang membuatku menari. Menari dalam sepi. Menari untuk lari. Bersama nikotinku.

Jangan salahkan aku, kalau Mama, Papa, calon suami, sahabat -sahabat baik, teman sekedar teman hingga selingkuhan mengatakan aku merokok seperti kereta api uap, mengepul, pul, pul, pul…, tanpa henti. Kamu sudah tahu alasannya, kan? Memang nikotin bangsat yang tak pernah protes kukata-katai bangsat ini sudah menjadi bagian oksigen laknat yang menjadi udara penyokong kehidupanku mengisi ruang paru. Mereka juga entah bagaimana menjadi sumber tenaga ketika aku lupa makan, bahkan memang terkadang aku tak butuh makan, cukup mereka saja.

Sekarang, katakan! Adakah sesuatu yang lebih setia dari pada itu di dunia penuh kepalsuan, perselingkuhan dan pengkhianatan seperti ini? Tidak. Adakah yang lebih bisa mengerti perasaanku dalam sepi, frustasi, atau bahagia melambung tinggi dari pada para batangan nikotin tersebut? Tidak. Bahkan ibu kandungku sendiri tidak bisa mengerti bagaimana perasaanku ketika aku menyepi dalam ruang kamarku sendiri, ditemani makhluk setia yang tak mengerti berbahasa. Ibuku hanya kecewa dalam tumpahan rasa lewat ucap yang seakan penuh logika yang tak ingin kupercaya, tak ingin kudengar dan menyudutkanku seakan menjadi anak durhaka. Ah!

Aku tanya lagi, apa seorang calon suami setia bisa mengerti betapa kecewanya aku saat setiap saat harus berhadapan dengan sikap hambar dan punggung bisu yang membelakangiku saat aku di sampingnya? Tidak. Dia sudah tertidur saat aku diam sendiri, mengumpat, dan memaki dalam hati sambil meringis iba membutuhkan dekapan hangat yang kuat. Lagi, cuma mereka, para nikotinku, cinta sejatiku, yang tahu bahwa aku wanita yang juga butuh belaian sayang, genggaman tangan erat, pelukan kuat walau tak ingin sejauh itu berharap sesi bercinta yang dahsyat dengan orang yang belum tentu tepat, belum tentu terikat kontrak lahir batin denganku atas nama sah, suami.

Ini lagi yang perlu kamu tahu, nikotin-nikotinku tak pernah mengatakan aku munafik hanya karena aku butuh belaian seorang calon suami, berbaring hangat di sisinya dalam sebuah dekapan dengan iringan piano Jim Brickman tanpa menginginkan sesi bercinta. Nikotin-nikotinku tahu bahwa aku seranjang dengan calon suamiku, bahkan tidur dengannya. Tapi, nikotin-nikotinku juga tahu bahwa aku dan calon suamiku tidur sesungguhnya tidur. Bahkan tidurnya calon suamiku benar-benar tidur. Tidurnya meniduri kasur dengan membalikkan punggung, memamerkan kulit indah tanpa atasan yang tak bercela, licin, mulus, tak berjerawat, dan sangat terawat. Nikotin-nikotinku sungguh tahu bahwa aku sangat terluka. Entahlah, apa mungkin ini perasaanku yang tak mau tau saja karena bisa jadi calon suami terkasih menghindari berjuta rasa yang tak mampu ditahan oleh syarafnya saat aku tidur di sisinya dengan tanktop tipis sehingga ia menjustifikasi untuk berbalik dan memberiku punggungnya saja? Tapi, bangsat! Itu jahanam penghancur perasaan. Aku seakan seonggok kotoran tak berharga. Nikotin-nikotinku sungguh mengerti, bahwa aku butuh tangannya saja memelukku kuat dalam dadanya yang hangat. Hanya pelukan. Aku hanya butuh pelukan, itu saja. Karena nikotin-nikotinku cukup tahu bahwa aku tak sebegitu butuh bercinta dengan manusia. Nikotin-nikotinku mengerti, bahwa saat ini, aku cukup puas bercinta dengan mereka saja.

Dan, lagi, ketika frustasi ini seakan membuatku mulai gila. Para sahabat tak ada. Mungkin sebagian dari mereka yang tahu hanya mengiba, dan sebagian yang tak tahu sedang asyik tertawa-tawa. Entah dengan siapa. Entah dengan pacar mereka atau teman sekedar teman yang tak mau mereka akui selingkuhan. Dan, apa sahabat-sahabat manusiaku disini? Malam ini? Tidak. Apa sahabat-sahabat manusiaku bisa selalu ada di dekatku setiap saat setiap waktu? Ketika frustasi menghantui atas tekanan, rasa marah hingga kecewa pada hal-hal yang terjadi denganku setiap saat? Tidak. Seperti malam ini, saat hujan di luar turun merintikki bumi, saat secangkir kopi panas mendifusi kehangatan kesekujur tubuh, para sahabat mungkin tengah sibuk bersembunyi di balik selimut mereka masing-masing, sendiri, atau bersama pasangan mereka, bercinta, mencinta, dicinta. Taik! Mereka bahkan tidak setiap saat selalu tahu kapanpun ‘bangsatnya’ perasaanku berantakan tiba-tiba. Saat seperti malam ini, ketika aku meratapi diri atas kebodohanku sendiri memanipulatif hubungan disfungsi dengan seseorang yang lebih dikenal dengan sebutan trend ’selingkuhan’ di jaman-jaman belakangan. Konflik hati ini tak mungkin pernah dimengerti oleh para sahabat yang terus menerus menyudutkanku dengan rong-rongan perasaan bersalah mengkhianati seorang calon suami setia yang telah menyediakan rumah indah. Dan, lagi, hanya nikotin yang mengerti.

Dalam setarik nafas saja, membaur dalam paru-paru, mereka sudah tahu kenapa aku seperti itu. Kenapa aku memilih menjalani sesuatu yang mempertaruhkan hubunganku yang sangat stabil dengan calon suamiku tercinta yang tak pernah bermasalah. Setidaknya tak pernah bermasalah baginya, tapi bagiku. Mereka, para nikotinku tahu, bahwa aku jenuh. Bukan jenuh karena memaksakan cintaku. Tapi, jenuh karena degradasi perasaan yang tak pernah di update seperti Antivir yang mungkin rutin sebulan sekali memperbaiki diri. Ketika aku mendominasi hubungan dan saat harus selalu menjadi si pembuka cerita hingga si pengurut kaki yang terlalu banyak bicara, aku mulai merasa aku bercakap terlalu banyak, untuk diriku sendiri dan tidak begitu ditanggapi. Tidak ada respons yang jangankan bisa di cerna di terima pun tak ada. Oh, bagaimana bisa dikatakan timbal balik hubungan, ketika hanya aku, lagi, yang begitu dominan, padahal aku perempuan.

Dan, nikotinku tahu. Aku begitu butuh pengakuan perempuan dalam posisi ini. Pernyataan seorang ‘perempuan’ yang selalu kuhindar karena konotasi sempit, tapi kucari malam ini. Aku sebagai perempuan. Perempuan yang juga sesekali ingin disentuh ketika aku ingin disentuh. Perempuan yang sesekali ingin merasakan rasa sayang ketika aku ingin merasa disayang. Perempuan yang butuh timbal balik rasa lewat canda ketika aku butuh merasa dicanda. Calon suamiku tak tahu. Atau aku rasa ia malas untuk tahu. Pecundangnya aku. Hanya nikotinku saja yang mengerti itu. Sebatang benda berwarna putih penghasil asap pengkerat paru. Nistanya aku.

Hanya mereka yang tahu bahwa aku perempuan yang banyak bicara, hanya pada orang yang bisa diajak bicara. Aku perempuan yang bisa dekat hanya pada mereka yang bisa kudekat. Aku perempuan yang bercerita hanya pada mereka yang bisa kuajak bercerita. Dan, aku perempuan yang memberi hangat pada mereka yang bisa kuberi hangat. Lantas mereka juga tidak mengata-ngatai aku seorang munafik, lagi, seperti para sahabat. Karena aku mengenal, berteman, teman lebih dari sekedar teman dengan seorang teman yang lebih dari sekedar teman yang teman. Nikotinku tahu, bahwa dia memiliku sesuatu yang aku butuh. Tapi, terkadang apa yang aku butuh dan ia butuhkan itu menakutkanku. Nikotinku tahu, aku tak berselingkuh, seperti kata para sahabat. Nikotinku tahu bahwa aku tahu dimana aku harus bernyanyi dengan laguku, menari dengan musikku. Dan, mereka tahu persis bahwa ini juga musik lain yang aku dengarkan, aku resapi, aku jalankan, membuatku menari dalam satu waktu sesaat, seperti Kitaro yang berlanjut menjadi S.E.N.S, Clanad, Indra Lesmana, Ryuichi Sakamoto, hingga Kenny G.

Adakah lagi yang bisa lebih setia dari itu? Katakan, ayo katakan! Nikotinku tidak membuatku mabuk, seperti Martini, Balalaika ataupun Vermouth. Nikotinku masih menempatkan akal sehatku di atas kepala. Nikotinku tidak membuaiku dalam tawa palsu seperti selinting ganja. Dan, nikotinku tak pernah menghipnotisku dengan goyangan tanpa henti seperti para ecstasy. Nikotinku menemaniku tanpa pamrih, setidaknya untuk malam ini, untuk hari ini. Adakah lagi yang bisa lebih setia dari pada itu. Ayo katakan!

Adakah kemudian seorang selingkuhan mengerti betapa rapuhnya perasaanku atas sikap pembodohannya dan pembodohanku? Tidak. Dia tak bodoh. Aku yang bodoh. Dan aku merasa dibodoh bodohi oleh perasaan bodoh yang bodoh. Apa yang kurang sempurna dari seorang calon suami setia yang tak banyak bicara, tak banyak bercerita, tak banyak bercakap, tak banyak bertanya, tak banyak maunya, sehingga tak bicara, tak bercerita, tak bercakap-cakap, tak bertanya, dan tak tau maunya. Apakah yang kurang sehingga aku harus memburu-buru perasaan kasih sayang pada orang lain yang baru kukenal. Hinanya aku. Hinanya kamu membuat aku seperti itu. Tapi, aku lebih hina. Jalang!

Ya, apa yang kurang dari selingkuhan yang punya ketertarikan yang sama? Sama-sama menghargai seni, sama-sama bisa timbal balik dalam diskusi, sama-sama bisa bercerita, diajak bicara, hingga bercinta. Gila! Siapa yang gila? Apa aku gila? Lantas siapa yang membuatku gila? Dia. Dia, siapa dia? Dia saja. Dia yang menurutku saja dia. Entah dia yang dia atau dia yang dia lagi. Dia, saja. Yang pasti itu dia.

Dan malam ini aku masih di sini, lelah menari, keringat membasahi diri. Nikotinku masih setia bersamaku di sini. Menemaniku hangat dalam malam penat yang dirintiki hujan. Hujan sialan yang membasahi tubuhku dan menyelimuti dingin yang menggumpal darahku, menjadi gatal pembiang alergi ketika aku berlari dalam kecepatan tinggi di atas sebuah kuda besi. Saat hatiku hancur menerima kenyataan pembodohan perasaan yang aku sadari, tak ia sadari, atau tak ingin ia sadari.

Nikotinku di sini. Calon suamiku, tidak. Nikotinku di sini, sahabat-sahabat baik, tidak. Nikotinku di sini. Selingkuhanku tidak. Nikotinku di sini. Masih setia menemani. Katakan ayo katakan lagi! Adakah yang lebih setia dari pada mereka, nikotin-nikotinku?


Kopi Hitam Pagi Hari

Aku hanyalah kepingan-kepingan jiwa yang berserakan di lantai tempatmu menapak
Tak bernilai jika dibandingkan kilauan cahaya yang tersimpan di sudut matamu
Aku hanyalah senyuman pahit pada kopi hitam pagi harimu
Mencoba merangkak dari pinggir gelas untuk menyentuh bibirmu yang ranum
Adakah kau lihat aku di bawah sini
Mencoba meneriakkan sunyi hati yang terbawa sepi
Galau yang membuncah di hati tertelan kata demi kata
Karena aku hanyalah noda di kain putih yang ingin segera kau enyahkan
Tanpa sadar mengemis hatimu yang takkan berpaling



December 1, 2009

Sebut Saja Aku Gila

Aku disebut gila diantara orang gila, lalu kalau begini siapa yang sebenarnya gila?

Kata orang aku gila memakai sweater tebal dihari yang sangat panas, kata orang aku gila menari ditengah kerumunan orang banyak, kata orang aku gila berlari-lari dilapangan ketika petir sedang ramai menyambar, kata orang aku gila berbicara dengan tanaman.

Tapi mengapa hanya kata 'gila' yang terucap keluar dari bibir mereka ? Mengapa tidak ada yang mau sedikit bersusah-susah bertanya 'kenapa' ?

Impian yang salah. Seharusnya itu yang aku tanamkan dari kecil di otakku, hei bersikaplah seperti orang kebanyakan, tapi aku memilih untuk menjadi yang unik, bukan gila. Mereka hanya tidak pernah mengerti, bahwa aku memakai sweater disiang hari yang panas, karena itu satu-satunya baju yang aku punya, aku menari ditengah kerumunan orang banyak karena aku bersyukur sampai sekarang aku masih hidup didunia ini, aku berlari dilapangan dikala petir menyambar, karena aku gembira karena sudah sebulan ini tidak turun hujan, dan aku berbicara pada tanaman karena tidak ada orang yang sudi untuk mendengarkan kisah sukaku atau dukaku, tapi lagi-lagi aku disebut orang gila...

Demikian mereka memandang aku, tapi aku yakin orang yang ramai-ramai menyesengsarakan rakyat, merekalah yang harusnya disebut orang gila, mereka yang duduk di cafe atau membuang uang ke pelacur-pelacur itu sementara didepannya ada orang yang merintih kelaparan, merekalah yang seharusnya dikatakan gila. Mereka yang mengambil lahan tempat tinggal kami dan membiarkan kami mati dengan perlahan, merekalah yang paling gila....

Hmm ... Ya sudah baiklah, aku tidak mempedulikan kata-kata gila dari orang macam mereka. Kegilaan sudah lama bernaung didalam pikiran aku, kamu, bahkan kita.

Tapi tolong, jangan sebut aku orang gila hanya karena kamu menganggap diri kamu sempurna.