November 16, 2009

Nomor 4

Tarik.. Embus.. Tarik.. Embus lagi..

Hanya itu.. Tak ada lagi yang kulakukan. Tanganku yang biasanya sibuk dengan cangkir dan sendok kopi, sekarang hanya terongok tak berdaya di meja. Sama seperti pemiliknya.
Mataku masih terpaku di meja nomor empat. Meja, yang hingga dua minggu lalu masih kutatap dengan rasa ingin tahu dan terpesona, bukan rindu dan nelangsa. Meja, yang hingga dua minggu lalu masih kuhampiri dengan langkah-langkah penuh semangat, bukan kuhindari.


***

Seperti biasa, aku berdiri di balik bar table. Mondar-mandir menyiapkan berbagai macam ramuan kopi, memberi taburan Choco-granulle ke atas busa cappuccino, atau sekedar mengecek persediaan bubuk hitam yang disebut kopi. Bagi beberapa orang, pekerjaanku mungkin menjemukan. Tapi aku menikmati profesiku sebagai barista. Aku mencintai kopi. Aku mencintai aroma dan sensasi yang mereka ciptakan. Mungkin karena hal inilah, tak ada wanita yang benar-benar singgah di hidupku.

Bukan menyombong. Tapi aku terlahir dengan wajah tampan dan daya pikat yang sulit ditolak. Ini kumanfaatkan untuk menaikkan omset cafe tempatku bekerja. Tiap hari, aku tersenyum kepada para pelanggan wanita dari balik meja kasir, seraya memberikan pesanan mereka.

Tapi percayalah.. Aku sama sekali tak menikmati hal ini.
Senyum yang penuh dengan kepalsuan. Dalam hati, aku mati-matian mengutuki hal ini. Lagipula, tak satu pun dari wanita-wanita itu yang benar-benar menarik perhatianku. Tak satu pun dari mereka yang cukup berharga untuk kuberi senyuman tulus. Satu-satunya hal yang bisa membuatku tersenyum tulus hanyalah uap kopi yang begitu kucintai. Arini yang biasanya tak pernah berkomentar pun mengamini hal ini. Ia pernah berkata padaku:

“Dewa. Aku tahu kamu mencintai kopi lebih dari apa pun. Tapi sediakan tempat untuk wanita juga di hatimu.”

Aku hanya tersenyum tipis dan berkata:

“Lalu kau akan meminta tempat di hatiku itu untuk dirimu?”

Arini yang baik. Jika wanita lain yang kuberi kata-kata itu, hanya ada dua kemungkinan reaksinya. Pertama: dia akan membalikkan badannya dan melenggang pergi dengan wajah merah. Kedua: mereka akan menjawab aku ini laki-laki kurang ajar, kemudian menjawab mengiyakan pertanyaan itu. Tapi gadis manis itu hanya tertawa merdu dan melambaikan jari manisnya yang dihiasi lingkaran emas.
Begitulah gambaran sekilas tentang hari-hari yang selalu kulewati di cafe. Boleh dibilang, aku lebih banyak bersosialisasi dengan kopi, ketimbang dengan manusia real. Namun, entah bagaimana aku menikmati hal ini. Mungkin aku akan terus hidup dengan pola seperti ini, kalau dia tidak datang ke cafe dan duduk di meja nomor empat.


***

Hari itu, Jakarta diguyur hujan yang amat deras. Cafe kebanjiran orang yang ingin menghangatkan diri. Aku benar-benar kewalahan menghadapi ini. Meski udara di dalam cafe agak dingin, wajahku bersimbah peluh. Kemejaku melekat kuat ke tubuhku. Itulah pertama kalinya aku membenci uap kopi. Aromanya yang harum membuatku mual. Namun, betapa pun aku sebal dan jemu, senyum tak pernah lepas dari bibirku.

Barangkali rasa jemu dan sebal itu akan terus bercokol di hatiku sampai hari ini berakhir. Tapi, sebuah suara membuat rasa frustrasi-ku lenyap nyaris seketika.

“Bisa pesan Dilmah tea yang lemon?”

Aku mengerutkan alisku sejenak. Bukan karena mendengar pesanannya. Tapi karena nada suara yang ditangkap telingaku. Begitu tenang. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan nada suara yang biasa kudengar. Aku mengangkat wajahku dari cangkir berasap yang sedang kuberi krim. Sesosok gadis berdiri di hadapanku. Matanya yang hitam mentapaku lurus-lurus.

Mungkin karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya, gadis itu mengulanginya dengan suara tenang yang sama:

“Bisa pesan Dilmah tea lemon?”

Dengan geragapan aku menjawab pertanyaan itu:

“Eh.. iya..bisa. Mau pakai gula biasa atau diet?”
“biasa aja.”
“Ditunggu, ya..”

Gadis itu hanya mengangguk. Ia sama sekali tak tersenyum ataupun mengedip genit padaku. Hal yang jarang kudapati dari pelanggan-pelanggan wanita yang lain. Dengan gerakan yang luwes, gadis itu mengangsurkan uang ke Arini yang bertugas di kasir dan berjalan anggun ke meja. Aku mengawasi gadis itu menarik kursi dan duduk dengan santai di dekat dinding kaca yang menjadi pembatas cafe ini dengan dunia luar.

Karena mataku masih mengawasi gadis itu, tanganku nyaris menampar teko berisi krim. Buru-buru aku menarik diriku ke alam nyata dan memusatkan pikiran untuk membuat pesanan gadis itu. Begitu selesai, aku tak mengijinkan siapa pun selain diriku, untuk mengantarkan pesanannya. Sesuatu yang baru pertama kali ini kulakukan. Dengan sigap, aku berjalan ke meja tempat gadis itu duduk dan dengan lembut meletakkan cangkir porselen putih di hadapannya.

“Satu dilmah tea lemon,” kataku sambil tersenyum. Senyum tulusku yang pertama hari ini.

Gadis itu kembali menatap mataku lurus-lurus. Kumanfaatkan hal ini untuk mengamati tiap jengkal sosoknya.

Wajah oriental yang terbingkai rambut hitam panjang yang dilayer. Mata hitam. Kulit kuning langsat. Hidung mancung. Tubuh ramping yang terbungkus hoodie putih bermotif Mickey Mouse. Namun, bukan sosoknya yang begitu sederhana–jika dibandingkan dengan pengunjung lain–yang membuatku tertarik. Aku memberikan senyumanku pada gadis itu. Tapi yang terjadi selanjutnya membuatku bengong. Gadis itu menatapku dengan tatapan datar yang nyaris tak pernah kuterima seumur hidupku. Namun tatapan itu–anehnya–malah membuatku tenang. Bukan risih ataupun jengkel

“Kamu dipanggil, tuh,” gadis itu mendadak bersuara. Memaksaku kembali ke realita.

Dengan cepat, aku menoleh ke meja kasir. Benar saja, Arini sudah melambai-lambaikan kertas pesanan dengan gerakan seolah dia ingin mengusir lalat yang beterbangan di sekeliling kepalanya. Buru-buru aku berjalan ke kasir dan membuat pesanan-pesanan itu secepat aku mampu. Sambil meracik kopi, aku terus menerus berharap agar gadis itu masih duduk di meja itu ketika aku selesai.

Sayangnya, ketika aku selesai meracik semua pesanan keparat itu, gadis itu sudah lenyap. Dengan putus asa, aku menayai semua waiter perihal gadis itu. Tapi tak ada yang melihat gadis itu. Namun aku yakin itu bukan sekedar mimpi siang bolong. Karena, ketika aku menghampiri meja di dekat dinding kaca itu, pandanganku jatuh ke sebuah cangkir porselen putih. Dengan hati-hati, kuangkat cangkir kosong itu. Masih hangat. Dengan perasaan gembira, aku menatap cangkir yang menjadi bukti kehadiran gadis itu.


***

Hari yang amat cerah. Secerah senyumku saat ini. Sebuah earphone terpasang di telingaku. Terhubung dengan iPod yang tersembunyi di balik celemekku. Dengan riang, tanganku menggerakkan sendok, teko, cangkir, jepitan gula, dan sebangsanya, mengikuti permainan gitar John Mayer. Dua hari setelah hari hujan itu, gadis itu singgah lagi di cafe ini. Begitu pula hari-hari berikutnya. Nyaris tiap hari gadis itu datang ke cafe ini. Selalu pesanan, tempat duduk, dan rutinitas yang sama. Setelah memesan Dilmah tea lemon–terkadang dengan croque madame atau cinnamon bread–gadis itu akan berjalan dengan langkah anggun ke meja di dekat dinding kaca dan duduk dengan santai di situ. Di meja bernomor empat. Kemudian dengan langkah sigap, aku akan mengantarkan pesanannya.

Terkadang dia mengutak-atik BlackBerry-nya. Tapi aku lebih sering melihatnya sibuk dengan buku sketsa dan pensil arang. Tangannya yang ramping bergerak-gerak dengan lincah. Menuangkan sosok-sosok yang ada di dalam pikirannya ke atas kertas putih. Selama dua bulan berikutnya, aku hanya memandangi gadis itu dari balik meja kasir. Entah kenapa, tak terlintas pikiran untuk mengajaknya bercakap-cakap. Tiap hari, aku mengamati tiap jengkal dari sosok sederhana itu. Mengamati hoodie apa yang dia pakai minggu itu, sepatu apa diinjaknya, kaus warna apa yang melekat di tubuhnya. Hanya itu.

Aku sendiri heran. Mengapa gadis yang begitu sederhana bisa membuatku begitu tertarik dan penasaran. Mungkin karena dia begitu berbeda dengan sosok gadis-gadis kosmopolitan pada umumnya. Tak ada merk internasional yang melekat di tubuhnya. Ia tak pernah duduk dengan mata terpaku pada seorang laki-laki. Dia juga tak pernah duduk bergerombol dengan gadis-gadis lain atau didampingi pemuda lain. Yang terakhir inilah yang membuat harapanku naik sedikit. Mungkinkah ada sedikit peluang untuk memenangkan hatinya?

Maka, sedikit demi sedikit, aku mengajak gadis itu bercakap-cakap. Dari apa yang telah kami bicarakan, hanya namanya saja yang berhasil kukorek. Inka, mahasiswi seni rupa. Selisih tiga tahun denganku. Hanya itu. Bahkan nama panjang, hobi, dan kesukaannya pun aku tak tahu. Dia begitu tertutup. Inka adalah gadis pertama yang tidak luluh oleh senyumku. Selama tiga bulan berikutnya, aku berusaha membuat Inka bicara lebih banyak padaku. Tapi bibir itu hanya menjawab pertanyaanku ala kadarnya saja. Tak pernah ada jawaban panjang lebar atau pertanyaan untukku yang keluar dari bibir mungil itu. Hanya menjawab. Tak pernah bertanya balik. Selalu begitu.

Tetapi, meski bibir itu tak pernah menyunggingkan senyum. Mata hitamnya selalu menatap mataku lekat-lekat. Lambat laun, aku menyadari satu hal. Di balik tatapannya yang tenang itu, terkubur jutaan ekspresi yang begitu hidup. Pernah aku menceritakan lelucon konyol padanya. Tapi–sekali lagi–ia tak memberikan reaksi yang kuharapkan. Inka hanya tersenyum. Namun sekilas aku menyadari, meski dia tak tertawa, matanya memancarkan keriangan orang yang sedang tertawa. Aku menatap mata yang riang itu sambil tersenyum hangat. Itulah pertama kalinya aku menyadari betapa hidupnya tatapan mata Inka.

Keesokan harinya, aku nekat mengajak Inka ke cinema untuk menonton ‘Inkheart’. Kenapa film itu? Dari sekian banyak percakapan hambar yang kulalui dengannya, aku berhasil tahu kalau Inka sangat menyukai Brendan Frasser. Maka siangnya, aku menghampiri meja nomor empat. Aku berdehem sekali untuk menyingkirkan ganjalan sialan di kerongkonganku sebelum berkata:

“Inka..would you like to go to the cinema with me tonight?”

Kalaupun Inka terkejut dengan ajakanku yang mendadak ini, ia menyembunyikannya dengan sangat baik. Sambil menatap matanya yang indah lurus-lurus, aku menyilangkan jariku di balik punngung. Berharap nasib baik menghampiriku kali ini. Lalu, dengan dada sesak karena kegembiraan aku melihat dia mengangguk pelan dan memberiku senyum lebarnya yang pertama.

“Jam delapan malam kujemput?”

Sekali lagi ia mengangguk. Tuhan.. Kau telah memberiku hal terindah di dunia ini. Kemudian, Inka memberiku secarik kertas. Di situ, tertulis alamat rumah dan nomor handphone-nya dengan tulisan tangannya yang tegas.

“Kalau mau tanya arah, telepon nomor ini aja,” katanya

Dadaku begitu sesak dengan kegembiraan. Nyeri rasanya. Tapi aku tak peduli, meski rasa sesak itu tetap bercokol di dadaku hingga waktu aku menjemput Inka malam itu.

Sementara dia bersiap-siap, aku duduk di ruang tamunya. Rumah itu sederhana, tapi begitu nyaman dan hangat. Seperti Inka sendiri. Sekonyong-konyong aku menyadari, tiap sudut ruangan itu dihiasi gambar sketsa yang terpigura rapi. Aku bangkit dari sofa dan menghampiri pigura yang paling dekat denganku. Aku kaget ketika melihat tanda tangan kecil yang tertera di sudut sketsa bunga itu.

Inka, 290609

Kuamati tiap senti dari sketsa itu. Tak ada satu goresan pun yang terlewat oleh mataku. Padahal itu hanya sebuah sketsa bunga biasa, tapi aku bisa merasakan seluruh jiwa Inka di situ. Hal yang sama kurasakan di sketsa-sketsa yang lain. Aku mengamati tiap sketsa dengan perasaan kagum, sampai akhirnya aku berdiri di depan pigura hitam sederhana. Aku merasakan wajahku memanas ketika meihat sosok di kertas yang ada di balik kaca pigura itu. Seorang laki-laki muda tampan. Tangannya sibuk dengan berbagai peralatan yang biasa digunakan oleh barista. Dengan napas tertahan, aku melihat sketsa diriku. Seperti sketsa-nya yang lain, Inka juga membubuhkan tanda tangan kecil di sudut sketsa diriku. Dan seperti sketsa-nya yang lain, aku dapat merasakan jiwa Inka di situ.

“Maaf kalau jelek ya, Wa..”

Aku menoleh. Inka sudah berdiri di belakangku, entah sejak kapan. Tampak begitu manis dalam balutan cardigan hitam. Aku tersenyum padanya dan menggeleng.

“Kita pergi sekarang?” Tanyaku sambil mengulurkan tangan.

Inka mengangguk dan menyambut tanganku. Sekali lagi dadaku sesak dengan kegembiraan. Kurasakan jemarinya yang lembut dalam genggamanku. Kutatap mata indahnya dan kusadari tatapannya yang begitu tenang dan hangat, serta senyumnya yang begitu mempesona.


***


Enam bulan berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Inka. Genap empat bulan sudah aku berhubungan dengan Inka melalui SMS, Messenger, dan percakapan di cafe. Aku menikmati tiap saat aku bercakap-cakap dengannya. Menikmati setiap kesempatan untuk mendengarkan tawanya, melihatnya tersenyum, memperhatikan gerak bibirnya saat berbicara, dan menatap matanya yang tenang. Tiap hari, di sela-sela waktu kerjaku, aku menyempatkan diri untuk duduk di hadapannya di meja nomor empat.

Pernah kutanyakan pada Inka alasannya selalu duduk di situ. Ia tersenyum sejenak dan berkata dengan nada santai:

“Karena aku bisa melihatmu dengan sudut pandang yang berkualitas.”

Aku tertawa mendengarnya. Inka juga ikut tertawa dengan suaranya yang lembut. Suatu kali ia pernah kutawari untuk duduk di coffee bar, namun ia tak begitu nyaman dengan hal itu.

“Aku bukan peminum kopi, Dewa. Aku tak bisa menikmati uap-nya seperti yang kamu lakukan,” katanya.

Memang. Selama ini Inka tidak pernah memesan kopi. Selalu dilmah tea lemon.

Setahun berlalu. Aku dan Inka makin akrab. Kegembiraan murni di hatiku tak pernah surut. Membuatku tersenyum tulus pada siapa pun. Bahkan pada para pelanggan wanita genit yang kubenci sekali pun. Tapi ada orang yang lebih gembira dari pada aku. Orang itu adalah Arini. Dengan bersemangat ia membantuku memilihkan kado untuk Inka.

“Akhirnya kamu mengijinkan seorang gadis mengisi hatimu, Wa!” Katanya girang.

Aku hanya tertawa kecil melihat reaksinya ketika aku memberitahunya kalau aku jadian dengan Inka. Selama beberapa waktu, aku menyangka kegembiraan ini akan terus bertahan hingga akhir hidupku. Tapi sebuah peristiwa memaksaku bangun dari angan-angan indahku dan menghadapi realita pahit kehidupan.

Semua berawal ketika Inka tiba-tiba absen singgah di cafe. Aku mencoba menghubunginya lewat telepon dan SMS. Tapi hasilnya nihil. Berkali-kali kuperiksa status Messenger-nya, tapi selalu unavailable. Akhirnya aku berusaha meyakinkan diriku bahwa dia hanya sibuk. Tapi keyakinan itu runtuh ketika seminggu berlalu tanpa kehadiran Inka di cafe. Aku memutuskan untuk menyambangi rumahnya. Berharap dia akan menyambutku dengan wajah kusut dan kelelahan. Tapi aku terpaksa menerima kenyataan pahit lain. Rumah kecil itu tertutup rapat. Kutanyai semua warga yang ada di sekitar situ, tapi hasilnya nihil. Dengan hati galau, aku pulang dan kembali melanjutkan usaha sia-siaku untuk menghubunginya.

Dua minggu berlalu. Aku memutuskan untuk kembali menyambangi rumahnya. Hatiku mencelos ketika melihat sejumlah karangan bunga berjejer rapi di halaman rumahnya. Sebutir kristal cair jatuh dari mataku ketika aku membaca nama yang tertera di salah satu karangan bunga itu.

"Inka Devanti Issoetranto"

Nama panjang Inka tertera bersama ungkapan duka cita yang ditujukan padanya. Pada kematiannya.

Bagaikan kesetanan, aku berlari ke bagian dalam rumahnya. Tak kupedulikan seruan marah orang-orang yang kutubruk. Langkah seribuku baru berhenti ketika aku tiba di ruang tamu. Hanya ada lima orang di situ. Keluarga Inka. Namun perhatianku sepenuhnya tersita oleh kehadiran sebuah peti mati sederhana yang terletak di tengah-tengah ruangan. Kuberanikan diriku untuk menghampiri benda itu dan melihat ke dalamnya.

Bahkan dalam genggaman kematian pun, ketenangan itu masih ada. Ketenangan dan kehangatan yang biasa kujumpai dari Inka, masih terpancar dari sosoknya yang terbalut gaun broken-white dan dikellilingi lily putih. Tapi mata indah yang penuh dengan kehidupan itu kini terpejam. Tak lagi memancarkan pesonanya.

“Inka..” panggilku lemah.

Dia tetap terbaring diam. Gadis yang telah menarikku keluar dari duniaku yang menjemukan, kini terbaring mati. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menariknya keluar dari kematian.

“Inka, buka matamu.” Tenggorokanku tercekat menahan tangis

Seorang pria paruh baya menepuk bahuku. Ekspresinya letih dan matanya masih merah. Orang yang akan kupanggil ‘ayah’ di masa depan nanti.

Aku berusaha menyingkirkan pengganjal yang hadir di kerongkonganku. Tanganku terkepal erat. Menahan segala emosi yang siap meledak.

“Apa yang terjadi padanya?” Desisku
“Demam berdarah. Kami terlambat menyadarinya. Ketika Inka dibawa ke rumah sakit, semuanya sudah terlambat,” jawab pria itu dengan suara parau.

Pria itu menatapku dengan pandangan kuyu dan berkata:

“Kau yang bernama Dewa, ya?”

Aku mengangguk kaku.

“Inka tidak ingin kamu tahu tentang apa yang terjadi padanya. Ia tak ingin membuatmu cemas,” kata pria itu dengan suara parau yang sama.


***


Dua minggu telah berlalu semenjak kamu pergi selamanya dari hidupku Inka. Dan inilah aku, berdiri di balik coffee bar. Melamun dengan tangan menganggur. Tak lagi menggerakkan teko, cangkir, gelas takar, dan sendok kopi dengan riang. Tak lagi merobek bungkus dan menyeduh dilmah tea lemon untuk kamu, Inka. Mataku tak pernah meninggalkan meja nomor empat. Meja yang menjadi saksi bisu kebersamaan kita, Inka.

Arini terus menerus berusaha menghiburku. Tapi aku tak pernah bereaksi. Arini yang baik. Tak pernah sekali pun dia meninggalkanku. Inka, apa kamu akan marah kalau aku menanggapi Arini? Apa kamu marah kalau aku membawa sketsa diriku yang kamu buat ke rumahku? Aku telah menggantungkan sketsa itu di dinding kamarku. Karena melalui sketsa itu, aku bisa merasakan jiwamu, Inka. Hanya sketsa itulah yang bisa memberiku kenyamanan. Aku tahu kamu ingin aku melanjutkan hidupku. Tapi aku tak sanggup berdiri di belakang coffee bar cafe ini lagi. Karena pemandangan yang pertama kali kulihat pasti adalah meja favoritmu. Meja nomor empat.

Aku memang pengecut, Inka. Kamu pernah bilang begitu, kan? Meski dulu kamu bilang begitu hanya untuk bercanda, tapi sekarang itu benar. Setahun kemudian, aku pindah ke Italia. Aku tak sanggup menghadapi kenangan akan keberadaanmu di meja itu, Inka. Aku bekerja di cafe kecil di pinggiran kota. Tak ada meja bernomor empat. Hanya dua meja kecil ditempat ini dan coffee bar berbau uap kopi yang panjang. Tapi Inka, aku tak melupakanmu. Sketsa itu masih tergantung di dinding flat-ku. Tak tersentuh debu. Sketsa itu akan selalu memberiku kenyamanan dan ingatan tentang seorang gadis sederhana yang telah memberiku ketenangan melalui mata hitamnya yang gemilang. Seorang gadis bernama Inka.


6 comments:

  1. hmm..
    like this..
    mao jadi destroyer hah?!
    kasian orang udah enak2 pacaran, malah ending nya ga enak gitu..
    kasian bgt dewa..
    cup cup yaa dewa yaa..

    ReplyDelete
  2. bwahahahaha :D


    iya yaa kasian yaa ck ck ck ... sini deh dewa nya sm gue aja gue ga keberatan ko pacaran sm barista :D


    eniwei, thanks for the comments (and the name, and john mayer, and the bla bla bla)

    ReplyDelete
  3. hahahhahahaahhaa..
    penulis yang aneh, naksir sama tokoh buatannya sendiri..
    hmmm..
    tanda2 kegilaan..

    bdw, meja no 4 emang pasti keren sih..
    hmm..

    ReplyDelete
  4. huhuhuhu tau gini, gue ga jadi deh pake meja nomor 4 .. gue pake nya meja sebelahnya aja nomor 5 ..

    ReplyDelete
  5. bwahahaha terimakasih bung joni dropkick ... mana cerita dropkick selanjutnya ? kemana selena jagoan favorit saya ?

    dan soal tebak gambar, jgn yg susah2 doooong, kapasistas otak masih belum nyampe niih .. btw, tiket gratis blitznya yang satu lagi simpen aja yaa buat aku nanti :D *wink

    ReplyDelete