May 28, 2010

Lelaki Sendok Karat

Laki-laki muda itu merapatkan telinganya pada dinding. Penasaran. Tenggelam dalam hasrat ingin tahunya. Tembok dingin itu nampaknya mengeluarkan suara. Walaupun samar, ia sangat yakin kalau ada sesuatu di balik dinding kamar kontrakannya itu. Sesuatu yang menggerakkan imajinya untuk terus mendengar lebih dalam lagi. Ia semakin merapatkan telinganya pada dinding kamar yang berukuran tidak lebih dari 9 meter persegi itu.
“Suara gemerincing. Ya, aku mendengarnya. Suara apakah itu ?” batinnya.
Kemudian ia memindai seluruh ruangan, mencari apa saja yang dapat membantunya untuk mengeluarkan apapun yang ada di balik tembok dingin bercat putih itu.
“Ah, ini mungkin bias membantu!” ujarnya sambil menghampiri sesuatu di atas meja kecil di pojok kamar.
Diambilnya sendok makan logam yang biasa digunakannya untuk makan nasi bungkus. Bersemangat, ia mengacung-acungakan sendok makan itu dan mulai menggaruk dinding sedikit demi sedikit. Lama ia menggaruk, keringatnya mulai bercucuran, mengalir dari atas dahi hingga ujung kaki. Membasahi kaus katun abu-abunya yang sudah terlihat usang. Namun peluh dan keringat sebanyak apapun tidak repot-repot menggubris konsentrasinya. Mata dan hatinya sudah tertuju pada gemerincing dibalik dinding itu. Sesekali dia berhenti menggaruk dan kembali menempelkan telinganya pada dinding, kalau-kalau suara itu hilang dan pekerjaan menggaruknya menjadi sia-sia. Tetapi, suara gemerincing itu semakin keras memukul gendang telinganya. Ia semakin yakin kalau ada sesuatu di balik dinding.
Ia menyeka keringatnya dan melihat dengan puas hasil pekerjaannya. Sudah ada lubang sebesar dua senti pada dinding. Dengan telunjuknya ia meraba hasil pekerjaannya, sensor motoriknya dapat merasakan kasarnya permukaan bata dan semen pada lubang hasil karyanya. Tetapi, lubang itu belum terbuka seluruhnya, benda gemerincing itu juga belum muncul. Belum selesai, pikirnya.
Mengganti peluh yang terbuang dari tubuhnya, ia menenggak air dari teko yang ada di atas meja yang sama dengan tempat diletakkannya sendok logam itu. Kembali ia memandangi lubang pada dinding kamarnya. Ia hampir tak peduli kalau itu bukan kamarnya sendiri. Ia hanya peduli dengan suara gemerincing di balik temboknya. Menurutnya, jika ibu galak pemilik kontrakan ngamuk melihat tembok kamar kontrakannya yang berlubang, itu urusan belakangan, asal benda gemerincing itu bisa ditemukan.
Makin lama ia menggaruk, makin keras terdengar suara gemerincing itu. Begitulah, makin semangat pula ia menggerakkan sendoknya menggerus semen dan batu bata. Mungkin memang awalnya sulit untuk menggerus tembok bata, tetapi kini dengan bulatan tekadnya, semua itu jadi terasa lebih mudah untuknya.
“Klang !”
Akhirnya, sungguh tak dapat dipercaya, sesuatu terjatuh bergemerincing menuju lantai dari dalam lubang. Matanya buas mencari benda bergemerincing itu dan jantungnya berdebar keras saat ia menyentuh benda itu. Sesuatu itu sungguh berkilauan dan menyilaukan. Dia mengamati benda itu dengan cermat dan akhirnya berkesimpulan, itu adalah sekeping koin emas!
Begitu girang ia menimang koin emasnya. Itulah tiketnya untuk meninggalkan kemiskinan selama-lamanya. Diciuminya koin emas itu dan kemudian kembali menatap lubang pada tembok bata lapuk itu. Pasti masih banyak benda seperti ini dibalik tembok itu, begitu pikirnya. Begitulah, akhirnya dia kembali menggaruk tembok dengan sendoknya, dan seperti perkiraannya, makin banyak koin emas bergemerincing jatuh di lantai.
***
“Dia pasien baru ya?” tanya seorang dokter wanita paruh baya berjas putih pada perawat di depannya. Perawat itu hanya menjawab dengan singkat dan memberikan map berisi keterangan pasien dan kertas-kertas penting lainnya.
Dokter itu membuka map yang dipegangnya dan mempelajari keadaan orang yang berada di hadapannya. Sesekali dia mendongakkan kepalanya untuk mencocokkan keadaan pasien dengan hasil analisa pada kertas. Dokter itu memandang dingin pada pasien di depannya yang sedang menggaruk dinding dengan sendok karatan sambil sesekali menempelkan telinganya pada tembok yang dingin. Sang dokter hanya menghela nafas dan menutup mapnya, menyesalkan penderitaan hidup yang dihadapi pasien di depannya, kemudian berlalu meninggalkan pasien baru itu dengan sendok karatannya.
***
Ia pulang dari bekerja, kelelahan dan perut keroncongan, menuju kamar kontrakannya yang sempit, pengap dan bau. Setiap hari, setiap kali dia pulang dari bekerja di pabrik, selalu begitu keadaannya. Kelelahan dan perut keroncongan. Tetapi, gajinya tak pernah naik. Sebaliknya, harga kebutuhan pokok terus naik. Ia semakin tercekik, semakin putus asa.
Laki-laki itu merebahkan diri di atas kasur, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan putus asa. Ia mencoba memejamkan matanya, mencoba melupakan seluruh masalah ekonomi yang menghimpit dirinya. Saat itulah, samar-samar dia mendengar sesuatu dari balik tembok. Sesuatu yang bergemerincing. Sesuatu yang menggiurkan. Kemudian, ia merapatkan telinganya pada dinding.


No comments:

Post a Comment